Kala Cemeti Terlecut

Was ist das denn[1], Bunda?” Kautsar bertanya pada bunda saat seekor kuda dengan kereta beroda empat melintas di jalan.

“Itu namanya delman, seperti lagu yang sering kalian nyanyikan.” Bunda menjelaskan.

Ach so…”[2] ucap Kautsar dan Salsabila hampir berbarengan.

“Kita naik yuk, Bundaa?!” Kautsar penuh semangat mengajak bunda dan adiknya.

Bade kamana, Neng?” tanya pak kusir pada bunda.

Oh…euuh…keliling-keliling saja Mang, barudak hoyong terang daerah di dieu[3], Bunda sedikit gelagapan karena ia belum punya rencana akan pergi ke mana. Saat naik ke delman tersebut, ia hanya spontan memenuhi permintaan Kautsar dan Salsabila yang penasaran ingin menaiki kendaraan tradisional itu.

“Woow….wooow, asyiiiik!” teriak girang Salsabila berbarengan dengan Kautsar saat mereka merasakan sensasi duduk di belakang kuda gagah berwarna coklat tua yang berlari kencang dalam kendali pak kusir. Bandul merah di atas kepala kuda itu berayun-ayun, begitu pula aksesoris di punggungnya terdengar gemerincing mengikuti hentakan kakinya yang berirama. Spontan anak-anak bernyanyi lagu ‘Pada hari Minggu’ yang mereka rubah liriknya.

***

“Bundaaa… yang tinggi biru itu, wie heisst das[4]…kok banyak sekali!?” Kautsar bertanya sambil menatap ke sekelilingnya. Pandangannya tertuju pada barisan gunung yang menjulang ke mana pun mata memandang.

Bunda, guck mal![5] Rumputnya baguuus…besar-besar dan warnanya hijau.” sambil tertawa girang Salsabila menunjuk pada tanaman padi yang terbentang luas berundak-undak sepanjang jalan.

“Itu namanya padi, sayang…bukan rumput. Nasi yang kita makan asalnya dari tanaman itu.” Bunda menjelaskan dengan penuh rasa sayang.

Bunda, guck mal! Itu ada kereta Thomaas.” Teriak Kautsar berbinar-binar sambil telunjuknya mengarah pada lokomotif tua beserta gerbong-gerbong berjelaga, teronggok dalam stasiun di seberang jalan yang sedang mereka lewati, sepintas seperti film tentang kereta bernama Thomas kesukaannya.

Anak-anak antusias menanyakan berbagai hal yang belum diketahuinya. Semua yang tak pernah mereka lihat selama tinggal di Berlin, pasti akan segera ditanyakan. Seperti saat itu, Kautsar terpesona dengan barisan gunung yang menjulang berwarna biru yang mempesona. Demikian juga dengan Salsabila, senang melihat hamparan padi menghijau terbentang luas seperti permadani bergelombang meliuk ke kiri dan kanan tertiup angin.

Bunda menghirup dalam-dalam udara bersih pagi hari alam desa yang selama ini dirindukannya. Sepanjang perjalanan berkeliling, Bunda tak henti-henti melayani tiap pertanyaan yang dilontarkan buah hatinya. Pertanyaan demi pertanyaan berusaha ia jawab dengan sabar. Terkadang pertanyaan yang dilontarkan sudah dijelaskan olehnya. Akan tetapi, berkali-kali anak-anaknya bertanya lagi untuk hal yang sama. Meskipun Bunda sudah merasa lelah menjawab, perasaan itu seakan sirna saat menatap bola mata kedua bocah itu bersinar-sinar ketika ia jelaskan berbagai hal yang baru mereka ketahui.

“Inilah seni menjadi orangtua, ketika anak bertanya justru pada saat orangtua sedang tak ingin ditanya atau sudah lelah menjawab,” hibur bunda pada dirinya sendiri.

Pikirannya langsung teringat pada kisah seorang ayah dan anaknya ketika melintas di hadapan mereka burung gereja. Sang ayah yang sudah tua itu bertanya berulang-ulang nama burung tersebut dan dijawab berulang pula oleh sang anak yang kemudian memunculkan kejengkelan di hati sang anak. Namun, rasa kesal pada ayahnya hilang bahkan sang anak menitikkan air mata saat sang ayah menyodorkan catatan pribadinya kepada sang anak. Dimana dalam salah satu halamannya dituliskan sebuah kisah.

“Ketika itu, aku dan Calvin anakku yang menginjak usia lima tahun sedang duduk-duduk di beranda gubug kami. Sewaktu aku bercerita tentang pohon, tiba-tiba ada seekor burung gereja hinggap di dahan pohon tersebut. Calvin bertanya apakah yang hinggap itu, dan aku pun menjelaskannya bahwa itu burung. Kemudian ia bertanya lagi burung apa, kujelaskan itu burung gereja. Calvin terus bertanya tentang rumah burung, makanannya, ibunya burung dan sebagainya. Tidak jarang dia bertanya berulang-ulang untuk pertanyaan yang sama. Terbersit dalam hati kejengkelan, namun tetap kutahan karena di sinilah aku melatih diriku dan berusaha terus-menerus untuk mengasihi anakku.”

 

Lamunan Bunda buyar ketika Salsabila secara tiba-tiba menjerit seraya menangkupkan semua jemari ke wajahnya…

Aaaaahh…neiiiin![6]….

Pak kusir…kenapa sih kudanya dipukul-pukul pake itu?” telunjuk mungil Salsabila mengarah pada cemeti yang sedang dilecut-lecutkan pak kusir pada kudanya. Membuat langkahnya tambah berderap kencang.

Sementara itu Kautsar memandangi pak kusir, bibirnya bergerak-gerak seakan ia ingin mengucapkan kalimat protes untuk membela kuda gagah yang sedang mengantarnya berjalan-jalan. Bunda diam menunggu reaksi pak kusir.

Hening sejenak…

Salsabila mengulangi lagi pertanyaannya setiap pak kusir melecutkan cemeti itu pada punggung kuda, jantungnya berdebar-debar…

Pak Kusir menengok ke belakang, ke arah wajah Salsabila yang duduk bersama Bunda. Lalu ia mulai menjawab pertanyaan Salsabila.

Lamun henteu dipecut , engke kuda-na teu tiasa ngertos perintah Mang, Neng Geulis.” Mang kusir menjawab dengan sopan.

Was?”[7] Salsabila dan Kautsar saling berpandangan tak mengerti dengan jawaban pak kusir yang menggunakan bahasa Sunda.

Bunda tersenyum dan segera menterjemahkan, “kalau tidak dipecut nanti kuda-nya tidak mengerti apa yang disuruh pak kusir.”

Sejenak anak-anak terdiam, berusaha mencerna kalimat yang diucapkan bunda.

Neiiin…neiin…enggak boleeeh! Kudanya kasih tahu aja bukan dipukuliiin!” Salsabila tiba-tiba menjerit lagi, tidak terima alasan pak kusir. Ia tidak rela sang kuda diperlakukan seperti itu.

“Iyyaa…tidak boleh, kasihan kudanya, nanti dia sakit!” Kautsar menimpali larangan adiknya.

Pak kusir bingung dan salah tingkah dibuatnya. Tetapi ia tetap melakukan komando lecutan pada punggung si kuda. Namun lebih pelan dari sebelumnya. Ia tak tahan mendengar jerit protes Salsabila.

Mang teu terang cara sanesna Neng Geulis, waktu sekolah jadi kusir diajarinnya mung kieu.” Pak kusir kembali berbicara.

Untuk kedua kalinya Bunda menterjemahkan perkataan pak kusir pada kedua buah hatinya bahwa mang kusir itu tidak tahu cara lain untuk memberi perintah pada kuda. Ia hanya tahu apa yang diajarkan sewaktu sekolah menjadi kusir.

Anak-anak terdiam kali ini dengan wajah murung.

“Kenapa tidak dikasih tahu aja kuda itu kalau mau belok kanan bilang kanan, mau belok kiri bilang kiri, mau lurus bilang lurus?” Salsabila bertanya pelan pada dirinya sendiri.

***

Neng, antosan sakedap, mang bade turun heula nya?[8] Pak kusir segera beranjak turun. Kakinya yang cacat tertatih menopang tubuhnya yang berusaha jongkok memeriksa keadaan delman miliknya.

Tanpa diduga….

Sang kuda meringkik dan menghentakkan kakinya, berlari kencang…pak kusir terguling ke pinggir jalan.

Neng terkejut, dia hanya beserta kedua buah hatinya dan seorang keponakan. Mereka masih anak-anak dan kini hanya dia orang dewasa dalam delman yang melaju tanpa pak kusir.

Dalam situasi yang menegangkan, Neng berusaha tidak panik dan segera meraih tali kendali kuda.

Hop…hop…ia menarik tali , tetapi kuda makin kencang lajunya. Tanpa ia sadari gerakannya menarik tali mengarahkan kuda ke arah kiri sampai kudanya nyaris menabrak pagar sebuah gedung sekolah.

Ia terus berusaha mengubah haluan, kali ini ke arah kanan. Sang kuda dengan cepat berbelok ke arah kanan dan hampir menabrak sebuah toko.

Neng mulai dihinggapi rasa cemas akan keselamatan diri dan anak-anak yang berteriak-teriak ketakutan dalam delman. Delman melaju terus sementara di hadapannya ada sebuah truk melintas. Dalam kepasrahan akan nasib mereka, ia berusaha menggerakkan kembali tali kekang ke belakang dengan tarikan lurus. Dan….

Sruuut…langkah kaki kuda dengan tiba-tiba terhenti.

Rupanya gerakan tali kendali benar-benar sangat menentukan ke mana kuda mengarahkan kakinya berlari. Neng berucap syukur karena terhindar dari marabahaya yang mengancam ia dan anak-anak. Ia segera menoleh ke belakang, di mana pak kusir berlari dengan kaki cacatnya berusaha mengejar kuda yang meninggalkannya.

***

Punten Neng, masih bade keliling?”[9] Pak kusir tiba-tiba bertanya membuyarkan lamunan bunda tentang pengalaman adiknya mengendalikan kuda tanpa kusir. Gara-gara pak kusir bicara tentang sekolah menjadi kusir, kisah itu tanpa diminta hadir memenuhi ruang pikirnya.

Oh…euh, di dieu we Mang, liren.” Bunda masih tergeragap memutuskan untuk berhenti di sebuah jalan tak jauh dari tempat tinggalnya.

Sabaraha Mang?” tanya bunda sambil mengeluarkan dompet dari tas yang diselempangkan di bahunya.

Saleresna lima belas ribu, tapi buat Neng teu keudah bayar.” ujar mang kusir menggoyang-goyangkan kedua tangannya, menolak untuk dibayar.

”Lho…kok?” Bunda tak mengerti kenapa pak kusir tidak memasang tarif malah membebaskannya dari membayar. Padahal hampir seluruh desa sudah dikelilingi mereka saat itu.

Sapanjang jalan, Mang tadi ngemutan pertarosan Neng alit, kunaon kuda itu dilecut.”[10] Pak kusir segera memberi penjelasan kenapa ia menolak untuk dibayar.

“Neng kecil tadi protes pada Mang supados[11] memperlakukan kuda dengan baik, padahal saya teh sama anak-anak dan istri sendiri saja suka kejam. Pak kusir mengatakan sebuah pengakuan pada bunda.

“Karena itu, Mang merasa berterimakasih seperti sudah diingatkan untuk bersikap baik pada anak-anak dan istri. Sama kuda saja harus baik, masa sama manusia tidak?” Pak Kusir menambahkan alasannya.

“Alhamdulillah atuh Mang, mudah-mudahan Mang bisa bersikap lebih baik yaa sama anak dan istri, tapii…tolong uang ini tetap diterima.” ujar Bunda sambil menyodorkan uang pada pak kusir.

Hatur nuhun[12] atuh, Neng.” Pak kusir tak dapat menolak uang yang memang merupakan haknya. Berkali-kali ia membungkukkan tubuhnya. Terlihat oleh bunda, matanya berkaca-kaca.

Bunda tak menyangka pertanyaan Salsabila dapat menyentuh hati pak kusir dan menghadirkan kemauan untuk bersikap lebih baik pada anak-anak dan isterinya.

Tchuus[13] Mang! nanti pecutin kudanya pelan-pelan yaaa.” Salsabila berpesan sambil melambaikan tangan pada pak kusir.

Pak kusir tersenyum mengiyakan permintaan Salsabila.

Sesaat setelah delman itu berlalu, bunda tercenung mengingat beberapa berita memilukan hati. Seorang ibu kandung yang tega membantai seluruh buah hatinya karena tekanan hidup juga kisah penyiksaan para TKW di luar negeri, memenuhi ruang pikirnya. ***

20.11.2010


Catatan Kaki:

[1] Apa sih itu?

[2] Begitu ya

[3] Anak-anak ingin tahu daerah sekitar sini

[4] Apa itu namanya?

[5] Lihat!

[6] Tidak!

[7] Apa?

[8] Neng, tunggu sebentar, Mang mau turun dulu ya?

[9] Maaf Neng, masih mau keliling?

[10] Sepanjang jalan, Mang tadi memikirkan pertanyaan Neng kecil, kenapa kuda itu dilecut

[11] supaya

[12] Terimakasih

[13] Selamat tinggal, daaah!

 

 

Berbagi di dakwatuna

2 comments for “Kala Cemeti Terlecut

Tinggalkan Balasan