“Nak Intan, bisa bantu Ibu mencarikan pembantu?.. Rasanya ibu mulai kerepotan nih!” sekonyong-konyong permohonan sang ibu menghentikan langkah Intan yang sedang bergegas membuka pintu pagar rumahnya.
Tanpa menunggu respon Intan, ia kembali berkata, “Cucu ibu sekarang sudah mulai aktif, jadi perlu pengawasan yang lebih. Karena hal itu, ibu sulit untuk menyelesaikan pekerjaan rumah terutama menyetrika, jadi tolong ya Nak Intan, bantu Ibu carikan pembantu, yang separuh waktu aja ya Nak?”
“Insya Allah, Ibu”… Intan berusaha menyanggupi seiring rasa perih yang tiba-tiba serasa menjalar di ulu hatinya mendengar penuturan sang ibu. Rasa yang timbul karena menyaksikan sebuah potret kehidupan di mana pusaran emansipasi wanita menempatkan sang ibu yang rambutnya sudah memutih dengan keriput di sekujur tubuhnya berada dalam posisi demikian, melakoni pekerjaan-pekerjaan rumah yang cukup berat ditambah masih harus merawat cucunya, seorang bayi.
Hampir satu tahun Intan mengenal wanita yang sudah menapaki usia senja itu. Ia hadir menjadi tetangga Intan sejak masa cuti melahirkan putrinya yang bekerja di suatu tempat hampir usai. Kesulitan sang putri mencari orang yang bisa menjaga bayi sekaligus melakukan pekerjaan rumahnya, membuat ibu tua itu rela meninggalkan suaminya untuk sementara waktu demi menjadi solusi akan problem yang dihadapi putrinya tersebut.
Di awal perkenalan dengan Intan, pernah sang ibu bertutur bahwa ia sangat keberatan bila putrinya harus berhenti kerja hanya karena urusan merawat anak. Apa pun akan ia lakukan asal sang putri tidak berhenti dari kariernya di luar rumah. Ia pun sangat menyayangkan pilihan Intan yang memutuskan berhenti kerja dan memilih fokus merawat dan mengasuh buah hatinya.
Sama halnya dengan Intan, putri sang ibu tak tega dengan pengorbanan yang dilakukan ibunya. Ia berniat untuk berhenti kerja, namun sang ibu melarangnya. Ia tak rela, jerih payah membesarkan dan menyekolahkan putrinya hingga meraih apa yang dicitakan, kandas begitu saja.
Bertahannya sang anak dalam karier yang dijalaninya demi membuat bahagia dan bangga orangtuanya, di mata Intan menjadi sebuah ironi manakala ia menyaksikan seolah ibu tua tersebut menjadi ‘budak’ bagi anaknya demi sebuah karier yang harus dipertahankan. Tak hanya sekali-dua saja tetapi sering Intan menyaksikan potret kehidupan seperti yang dilakoni ibu tua ini.
Selain perih menyaksikan banyak orang dengan alasan seperti sang ibu tua, mengerjakan berbagai pekerjaan rumah anaknya dan mengasuh cucu-cucunya, Intan pun prihatin kala menyaksikan banyak anak merasa ‘hampa’ kasih sayang terutama kasih dan perhatian ibunya ketika sibuk mengejar karir hingga terabaikan hal yang paling didamba seorang anak.
Intan menyadari bahwa banyak motif melatarbelakangi seorang muslimah memilih tetap berkarier setelah berkeluarga dan dikaruniai anak. Ada yang dikarenakan masalah ekonomi, pembuktian jati diri, pengabdian pada orangtua,dsb. Hal ini sering membuat Intan berdecak kagum ketika melihat berbagai kiprah yang telah dibuktikan mereka dalam pusaran emansipasi.
Namun terselip pula dalam hati Intan sebuah harap pada mereka yang memilih meniti karier di luar rumahnya, akan adanya azzam yang kuat: tak menjadikan orangtuanya seolah ‘budak’ sehingga tak akan lagi ia saksikan aktivitas seperti yang dilakukan ibu tua itu di hari-hari mendatang. Serta tak membuatnya lupa akan tugas utama yang mesti diembannya, menjadi madrasah utama bagi anak-anaknya.
#Sebuah renungan di hari Kartini, 2012
1 comment for “Sebuah Ironi di Pusaran Emansipasi”