Perisai Diri di Jantung Jerman (#2)

Bismillah walhamdulillah…


Beberapa hari setelah beradaptasi dengan tempat kami tinggal, suamiku mengajak berjalan-jalan mengenal lingkungan sekitar. Selama menyusuri jalan kami menemui beragam orang di samping orang-orang pribumi, yang bila kami lihat dari raut wajahnya, dapat diduga asal mereka seperti dari Turki, Arab, Korea maupun Afrika.

Sehelai Kain Identitas, Pengikat Persaudaraan
Sebagaimana orang yang tidak saling kenal, ketika berpapasan tentunya saling tak acuh. Itu pula yang kami alami. Tiap orang berjalan tanpa peduli sekitarnya, terkadang mereka berjalan begitu cepat dan tergesa. Namun hal tersebut tak selalu demikian adanya. Berkali-kali seulas senyum menghiasi raut muka orang yang tak kami kenal saat berpapasan dengan kami, bahkan terkadang mereka tak segan menyapa dengan mengucap salam yang lazim digunakan orang muslim saat bertemu.

Ya, seulas senyum mereka begitu berarti ketika kami terpisah ribuan kilo dari sanak saudara dan handai taulan. Seulas senyum yang biasa mudah kami dapati saat berada di tanah air ketika berjumpa dengan orang-orang yang kami kenal.

Seulas senyum itu kini di sini menjadi sesuatu yang sanggup menjadi pengobat rindu akan kampung halaman. Karena seulas senyum tulus yang diberikan orang-orang yang belum kami kenal saat berada jauh dari tanah air menyadarkan diri kami bahwa kami masih memiliki saudara seiman.
Bagaimana senyum itu tiba-tiba menghias wajah mereka saat berpapasan dengan kami padahal jelas kami tidak saling mengenal? Tentu saja sangat mudah diterka, ya karena aku menggunakan sehelai kain penutup kepala. Hal ini menjadi identitas yang mudah dikenal oleh siapa pun bahwa aku adalah seorang muslimah.

Sehelai kain penutup kepala itu mampu merekatkan dua orang yang saling tak mengenal saat berpapasan. Seperti kuceritakan di atas, kami merasakan sendiri ternyata sehelai kain penutup kepala tersebut dapat mengikat persaudaraan. Karena ketika suamiku berjalan-jalan sendiri, semua orang yang berpapasan dengannya tak pernah tahu kalau dia seorang muslim. Bahkan, pernah ia diajak bicara dengan bahasa Korea. Sontak suamiku gelagapan menjawab dan menyampaikan pada orang yang menyapanya bahwa dia bukan bagian dari bangsanya. Lain cerita bila dia berjalan bersamaku, kami akan sangat mudah dikenal sebagai sepasang muslim muslimah.

Pernah suatu ketika saat kami menyusuri ruas Mueller Strasse di kawasan Wedding. Di tengah hiruk pikuk orang-orang, kami berpapasan dengan seorang kakek. Tiba-tiba kakek yang sudah bungkuk itu berhenti lalu menatap kami agak lama lalu menyunggingkan seulas senyum. Jabat tangan pun terjadi antara suamiku dan sang kakek yang akhirnya kami ketahui ia berasal dari Palestina.

Sang kakek begitu terlihat gembira saat mengetahui asal kami. Ia memeluk suamiku penuh haru sambil berbisik pada suamiku agar suamiku menjagaku dan bayi kami dengan sebaik-baiknya. Ia tahu persis bahwa Indonesia merupakan negara yang penduduknya mayoritas muslim dan peduli serta selalu mendukung perjuangan Palestina menghadapi negara penjajah yang kaumnya dilaknat Allah.
Seringkali kami berpapasan dengan kakek tersebut setiap menyusuri ruas jalan itu. Tak kami sangka, kakek yang sudah sangat tua itu tetap mengenali kami di setiap perjumpaan yang terjadi. Ia selalu menyempatkan berbincang sebentar dengan suamiku.

Dilain waktu, pernah pula seorang muslimah menyapaku dengan ramah. Setelah berkenalan akhirnya kutahu ia berasal dari Maroko. Hangatnya persaudaraan yang ia perlihatkan dalam sikapnya membuatku terkesan hingga kini. Demikian pula dengan sikap muslimah dari belahan negeri lainnya seperti Turki, Libanon, Arab, Machedonia dan lain-lain, hampir setiap berpapasan dengan mereka akan tersungging sebuah senyuman.

Sehelai kain identitas itu selain membuat senyumku dan mereka terkembang juga menjadi amal ibadah bagi kami. Bagaimana tidak? Karena Rasulullah SAW bersabda bahwa anak keturunan Adam memiliki kewajiban untuk bersedekah setiap harinya sejak matahari mulai terbit. Seorang sahabat yang tidak memiliki apa pun untuk disedekahkan bertanya, “Jika kami ingin bersedekah, namun kami tidak memiliki apa pun, lantas apa yang bisa kami sedekahkan dan bagaimana kami menyedekahkannya?” Rasulullah SAW bersabda, “Senyum kalian bagi saudaranya adalah sedekah, beramar makruf dan nahi mungkar yang kalian lakukan untuk saudaranya juga sedekah, dan kalian menunjukkan jalan bagi seseorang yang tersesat juga sedekah.” (HR Tirmizi dan Abu Dzar). Dalam hadis lain disebutkan bahwa senyum itu ibadah, “Tersenyum ketika bertemu saudaramu adalah ibadah.” (HR Trimidzi, Ibnu Hibban, dan Baihaqi). Salah seorang sahabat, Abdullah bin Harits, pernah menuturkan tentang Rasulullah SAW, “Tidak pernah aku melihat seseorang yang lebih banyak tersenyum daripada Rasulullah SAW.” (HR Tirmidzi).

Meskipun ringan, senyum merupakan amal kebaikan yang tidak boleh diremehkan. Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apa pun, sekalipun itu hanya bermuka manis saat berjumpa saudaramu.” (HR Muslim).

Sejak itu kusadari bahwa sehelai kain yang menutup kepala dapat menjadi awal perekat hati kami dengan saudara-saudara seiman di negeri minoritas muslim. Sehelai kain identitas diri itu menjadi bagian dari perisai hidupku di sana karena ia menjadikan kami serasa memiliki banyak saudara.

 

Ilustrasi: chocolateva.wordpress.com

Tinggalkan Balasan