Antara Pohon Pisang, Caroline dan Kita

Pohon pisang tak mau mati sebelum berbuah. Ia ingin kehadirannya di atas dunia ini bisa memberi manfaat sebelum ajal datang menjemput.

Tak sekadar itu, pohon pisang telah mempersiapkan generasi penerusnya sebelum ia mati. Tunas-tunas muda inilah yang akan meneruskan tugasnya memberi kebaikan kepada sesiapa yang memetik buahnya, atau mengambil daunnya atau memanfaatkan batangnya.

Itulang pisang.

Manusia sebagai makhluk yang dikaruniai akal seharusnya bisa berbuat lebih dari sekadar batang pisang…

***

Barisan kalimat di atas muncul di dinding FBku dari seorang sahabat yang menandai namaku untuk status yang dia tulis. Kuulangi membacanya, senyumku terkembang dan kepalaku mengangguk karenanya, setuju dengan apa yang dia tulis. Belajar pada karakter tiap ciptaan Allah, selalu dapat dipetik hikmah untuk kita teladani. Seperti yang ditulis sahabatku di atas tentang pohon pisang.

Manusia diciptakan Allah dengan dibekali piranti akal untuk membedakan yang baik dengan yang tidak, atau untuk memilih jalan kebenaran dengan sebaliknya. Tentunya bila menginginkan kebaikan di dunia dan akhirat setiap diri akan berusaha keras untuk menapaki jalan kebenaran. Berupaya menaati rambu-rambu yang Dia jadikan petunjuk untuk keselamatan kita, serta akan senantiasa berjuang mengumpulkan bekal dengan sebaik-baik amal untuk meraih ridha-Nya. Dan, satu diantara banyak bekal yang harus dipersiapkan itu yakni mempersiapkan generasi yang akan meneruskan apa yang telah kita rintis tersebut.

Perumpamaan yang dituliskan sahabat tentang kehidupan pohon pisang itu membuatku teringat akan seseorang yang kulihat sosoknya beberapa waktu lalu di layar televisi. Akan kuceritakan sebagian kisahnya di sini yang membuatku haru sekaligus malu, kuharap akan menjadi sebuah motivasi untuk kita agar bisa mempersiapkan diri sebagaimana yang dilakukan pohon pisang.

Ia seorang gadis berusia 13 tahun, sebutlah namanya Caroline. Terlahir dengan kondisi lumpuh sebagian tubuhnya. Beruntung sekali Caroline, tumbuh dan dibesarkan oleh ayah dan ibu yang penuh rasa sayang dan selalu meniupkan semangat sehingga Caoline tumbuh menjadi anak yang penuh percaya diri dan merasa seperti anak-anak lainnya yang dikaruniai fisik normal. Keterbatasan jasadi yang disandangnya tak mampu menyurutkan semangatnya. Setiap hari Caroline berlatih untuk bisa berjalan dengan bantuan tongkat ditemani orangtuanya.

Saat yang paling menyenangkan bagi Caroline adalah saat pikirannya tenggelam dalam buku-buku yang dibacanya. Ya, Caroline seorang pecinta buku. Uniknya, saat semua buku di rumahnya telah tamat dibaca, ia ‘kan berusaha untuk mendapatkan buku-buku baru. Sebagian besar buku-buku barunya itu ia peroleh bukan dengan merogoh saku orangtuanya. Namun ia mengusahakannya dengan caranya sendiri. Ditemani kursi roda dan ibunya, ia mengetuk dari pintu ke pintu setiap rumah di kota tempat ia tinggal, terkadang ia meninggalkan sepucuk surat agar yang punya rumah sudi berbagi sebagian buku yang mereka miliki. Walhasil dari usahanya itu, banyak hati yang tersentuh. Seiring waktu berjalan, tak terasa ia telah mengoleksi kurang lebih empat ribu buku.

Caroline, gadis belia yang suka membaca ini pun bingung karena rumahnya tak dapat lagi menampung buku hasil usahanya itu. Karenanya ia pun memimpikan suatu saat nanti ia dapat mendirikan sebuah perpustakaan untuk menyimpan semua koleksi bukunya agar dapat dinikmati warga di kotanya. Ia ingin keberadaan perpustakaan di tempat tinggalnya, membuat warga menjadi pecinta buku. Ia pun mendambakan sebuah ruang dimana ia bisa mendongeng, membacakan buku, mengajar baca serta menumbuhkan minat supaya cinta membaca pada anak-anak yang belum bisa baca.

Apa ya kira-kira yang dapat dilakukan gadis kecil dengan keterbatasannya itu? Dapatkah ia mewujudkan impiannya tersebut?

Sebuah pepatah arab ‘Man jadda wajada‘ sepertinya berlaku dalam hidup Caroline. Ia bersungguh-sungguh mewujudkan mimpi itu. Tentu Allah akan selalu menyertai orang-orang yang memiliki niat baik dan bersungguh-sungguh mewujudkannya. Caroline pun mendapat petunjuk-Nya.

Di negara tempat Caroline tinggal, ada stasiun televisi yang menyelenggarakan sebuah program untuk membantu setiap orang mewujudkan impiannya dengan cara mengirimkan surat berisi impiannya itu atau mendatangi tenda yang telah disediakan pemrakarsa. Dan, Caroline tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Ia datangi tenda impian itu.

Kuasa Allah menjawab harapan dan kesungguhan Caroline. Ia terpilih oleh tim yang menyeleksi impian mana yang layak dibantu untuk diwujudkan dari sekian ribu surat impian juga sekian banyak orang yang mendatangi tenda tersebut.

Tim penyeleksi memilihnya bukan karena iba akan kondisi fisik Caroline, akan tetapi hanya karena impian Caroline yang luar biasa. Para juri penyeleksi terkesan akan cara berpikir anak tersebut yang memandang jauh ke depan dan berorientasi akan kemanfaatan pada sekitar. Di saat anak-anak sebelia Caroline mengungkapkan impian untuk bertemu aktor-aktris idola, bertemu bintang olahraga atau bermimpi mengejar kesenangan-kesenangan yang sifatnya hanya untuk diri pribadi, impian Caroline mencuat bagai mutiara menyembul dari balik lumpur.

Impian gadis kecil itu pun terwujud, warga terutama anak-anak seusianya menyerbu perpustakaan yang telah berdiri di kotanya dengan bantuan tim tersebut. Mereka tampak bahagia, sebagaimana Caroline sangat bahagia impiannya tercapai.

Keinginan sekaligus impiannya untuk menjadi orang yang bisa memberi manfaat sebelum ajal datang menjemput serta upayanya menyiapkan generasi yang akan melanjutkan kecintaannya pada buku membuat Caroline (mungkin tanpa disadarinya) telah menjalankan filosofi pohon pisang itu. Setiap kita tentunya paham, dalam buku tertuang banyak ilmu yang dapat membuka wawasan dan cara pandang serta meluaskan cakrawala pemikiran yang bisa menuntun tiap orang untuk menguak tabir rahasia ilmu-Nya. Berarti dengan demikian Caroline telah berupaya mewariskan suatu kebiasaan baik pada masyarakat sekitarnya.

Lalu, bagaimana dengan kita? kita yang terlahir dan beridentitas sebagai muslim yang mana telah sampai pengetahuan pada kita dari lisan Nabi terkasih Rasulullah SAW bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusi lainnya (HR.Thabrani dan Daruquthni). Apa yang telah kita perbuat untuk mengukir jejak kebaikan yang dapat dilanjutkan oleh anak keturunan kita atau siapa pun pada generasi setelah kita?

Hati kita pantas dijalari rasa malu pada pohon pisang bila ternyata kita masih berkutat pada kesibukan yang hanya untuk memenuhi kepentingan diri sendiri. Dan, adanya satu atau banyak orang semodel Caroline yang memiliki asa mulia di tengah keterbatasan kondisi fisiknya, tentu bukanlah tanpa makna untuk kita. Allah pasti memiliki tujuan agar kita bisa belajar darinya.

 

4 comments for “Antara Pohon Pisang, Caroline dan Kita

Tinggalkan Balasan