Perisai Diri di Jantung Jerman (#1)

Bismillah walhamdulillah…

Ada banyak pertanyaan dilontarkan orang-orang di sekitarku saat ku kembali ke tanah air setelah beberapa tahun menyelami kehidupan di negara minoritas muslim, tepatnya di ibukota Jerman, Berlin.

Hal yang paling sering ditanyakan mereka adalah tentang hijab. Sepertinya mereka penasaran karena di awal berjumpa lagi denganku, penampilanku tetap seperti dulu saat aku akan meninggalkan tanah air. Pertanyaan yang sama terucap pula dari orang yang baru mengenalku ketika melihatku berbusana serba longgar dengan kain penutup kepala yang lebar.

Bagaimana di sana, tetap dengan penampilanmu seperti itu?” tanya yang sering mengawali perjumpaan dengan orang-orang yang sudah lama mengenalku. Sedangkan yang baru kenal, biasanya terucap tanya,“Maaf, selama di sana penampilannya seperti itu?”

Tersirat kecemasan saat mereka bertanya tentang hal tersebut. Kucoba mengurai rasa penasaran bercampur kecemasan itu dengan senyum sambil menjawab singkat, “Ya! tetap seperti ini.”
Rupanya jawaban itu menyebabkan rasa penasaran semakin menjadi. Masih dengan nada cemas muncul lagi pertanyaan, “Bagaimana sikap orang sana dengan penampilan seperti itu, memangnya enggak kenapa-kenapa?”

“Tentu saja kenapa-kenapa.” jawabku sedikit berseloroh
Namun, melihat keseriusan mereka yang bertanya ingin mengetahui bagaimana orang-orang Jerman atau bangsa lainnya di negeri tersebut bersikap padaku, kali ini aku tak dapat menjawab sesingkat jawaban pertama. Karena beragam sikap yang kudapatkan saat sekedar berpapasan dengan mereka di jalan atau saat berinteraksi untuk berbagai keperluan kami terhadap mereka.

Untuk itu, insya Allah akan kutuliskan di sini beberapa kisah pengalaman dalam selarik perjalanan hidupku di sana secara berseri. Semoga dengan menuturkannya ada ibrah dan hikmah yang dapat diambil.

***
Sejak pesawat lepas landas dari bandara Soekarno-Hatta hingga mendarat dengan sempurna di bandara Tegel-Berlin, Alhamdulillah tak ada kendala yang kujumpai. Namun, setelah suamiku menjemput dan mengajakku beserta bayi kami keluar untuk mencari taxi, disinilah mulai kudapati kendala.
Saat suamiku mencegat taxi pertama hingga entah keberapa kalinya, tak ada satu pun supir taxi yang bersedia mengantar kami ke tempat tujuan. Anehnya, mereka awalnya bersedia, akan tetapi begitu melihatku, kesanggupan itu langsung dicabut dan mereka berlalu begitu saja meninggalkan kami dalam keheranan dan ketidakmengertian.

Mendapat perlakuan demikian dari para supir taxi, membuatku jadi teringat akan pertanyaan dan saran dari saudara dan teman-temanku menjelang keberangkatanku menyusul suami yang sudah lebih dulu berada di Berlin. Saran dan pertanyaan mereka bernada khawatir aku akan mengalami diskriminasi dari orang-orang di sana jika ku tetap berpenampilan seperti keseharianku selama ini.

Jadilah sempat terselip sangka di tengah usahaku menahan udara dingin musim gugur yang menggigit. “Adakah mereka menolak mengantar kami karena penampilanku?” Pertanyaan itu hadir di hati karena pada saat kami mencegat taxi, ada 2 muslimah Indonesia beserta suaminya masing-masing, langsung mendapatkan taxi. Sementara itu hampir setengah jam kami mengalami penolakan berkali-kali dari para supir taxi begitu mereka melihatku.

Namun aku segera beristighfar dan menepis prasangka tadi dengan mengikatkan hati dalam doa, memohon pertolongan-Nya. Kuyakin Allah tak kan membiarkanku menghadapi kesulitan dikarenakan busana yang kukenakan ini. Aku yakin pertolongan Allah pasti akan datang sebagaimana firman-Nya, “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad, 47 :7).

Tak lama kemudian, seorang supir taxi melambaikan tangannya pada suamiku. Ia menyerahkan sehelai kartu nama sebuah agen taxi yang menyediakan fasilitas yang memenuhi aturan tata tertib berkendaraan yang tepat untuk kepentingan kami.

Rupanya para supir taxi itu tak mau mengantar kami bukan dikarenakan membenci atau tidak suka dengan penampilanku. Alasan mereka hanyalah karena taxinya tidak dilengkapi dengan kursi khusus untuk bayi. Ya! kursi khusus bayi, satu hal penting yang luput kami siapkan sebelum hari pertemuan itu. Mereka enggan mengantar kami karena tak ingin melanggar tata- tertib yang berlaku di negerinya.
Setelah agen tersebut dihubungi, kami masih harus menata kesabaran di hati, karena taxi yang dimaksud tak kunjung tiba sebagaimana sempat dijelaskan supir taxi yang menyerahkan kartu itu, bahwa belum tentu kami mendapatkannya dalam waktu cepat dikarenakan jumlahnya terbatas.

Meskipun demikian, kami tetap berucap syukur karena petunjuk tersebut telah mengurai kebingungan kami sebelumnya. Terlebih lagi buatku, petunjuk itu berhasil menguatkan sangka baikku pada Allah sekaligus menggugurkan sangka buruk pada para supir taxi tersebut yang sempat melintas.

Saat kami mulai tak sanggup menahan udara dingin dan hendak kembali masuk ke ruang bandara untuk sekedar menghangatkan badan, tiba-tiba sebuah taxi menghampiri. Seraut wajah Timur Tengah mempersilahkan kami masuk sambil mewanti-wanti supaya aku memegang erat bayiku. Senang campur heran mengaduk-ngaduk perasaan kami saat menuruti tawaran supir taxi tersebut.

Sepanjang perjalanan, tak henti kami panjatkan rasa syukur hingga taxi sampai ke tempat tujuan, sebuah apartemen di jalan Trift. Saat itu kurasakan sekali kuasa dan Kasih Sayang Allah di awal menginjakkan kaki di bumi Deutschland. Kalau bukan karena pertolongan Allah, kuyakin tak akan ada supir taxi yang mau melanggar aturan mengemudi yang sangat ketat di negeri ini.

Tak sanggup kubayangkan apa yang akan dialami jika kuturuti hembusan prasangka yang sempat melintas dalam hati saat peristiwa itu terjadi. Teringat pada firman Allah dalam sebuah hadits Qudsi: Qala Ta’ala ana ‘inda dhanni ‘abdi. In khairan fa khairan wa in syarran fa syarran yang terjemahnya berarti “Aku bergantung pada prasangka hamba-Ku. Sekiranya berprasangka baik, akan berdampak baik dan sekiranya berprasangka buruk akan menjadi buruk”.

Dikarenakan penjagaan Allah sajalah, aku dapat melaksanakan seruan-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa…”(QS. Al-Hujuraat, 49:12)

Pengalaman yang dilalui hari itu membuatku berjanji pada diri sendiri untuk selalu mengedepankan baik sangka dan yakin sepenuh hati bahwa Allah akan selalu memberikan pertolongan-Nya selama kutaati perintah-Nya. Kedua hal tersebut menjadi bagian dari perisai hidupku saat merajut kehidupan di Berlin.

 

Tinggalkan Balasan