Karena hidup ini fana

Waktu terasa cepat berlalu di dunia yang fana ini. Rasanya baru kemarin menyaksikan seorang pria berucap syukur ketika motornya yang di parkir di halaman masjid nyaris hilang. Lubang tempat memasukan kunci telah dirusak seseorang di malam ke 21 Ramadhan lalu. Masih segar pula dalam ingatan di saat bersamaan dengan kejadian itu saya melihat seorang nenek dengan alat bantu untuk berjalan, tertatih-tatih meninggalkan masjid. Ia adalah orang terakhir yang meninggalkan masjid di shaf wanita. Subhanallah! Saya sangat kagum dengan semangat nenek tersebut dalam mengisi malam-malam terakhir Ramadhan.

Ramadhan memang baru saja berlalu, ada rasa sedih yang teramat sangat ketika bulan penuh keberkahan ini berganti Syawal. Ada rasa gembira karena akan berjumpa dan merayakan hari kemenangan bersama orangtua, sanak saudara dan handai tolan. Namun ada pula rasa khawatir akankah amalan ibadah shaum dan lainnya selama Ramadhan diterima olehNya. Rasa yang saya rasakan saat kehilangan Ramadhan mengingatkan saya pada suatu episod hidup saya.

——-

Entah untuk ke berapa kalinya saya pandangi ruang demi ruang wohnung (rumah) tempat kami bernaung selama ini. Ada banyak kenangan dan peristiwa suka-duka yang kami rasakan terpatri di dalamnya. Harus saya akui, separuh hati saya tertambat di sana, tetapi walau bagaimana pada akhirnya saya harus meninggalkannya meski dengan hati yang berat. Setelah puas menatapnya, saya pun menyusul langkah suami dan anak-anak yang telah duluan sampai di gerbang.

Sepanjang perjalanan menuju Berlin Hauptbahnhof (stasiun utama), anak-anak berceloteh riang, sementara suami ngobrol dengan Ogur (seorang Turki yang mengemudikan mobil saat itu) dan seorang teman yang mengantar kami. Sesekali telepon genggam kami berbunyi, terdengar isak disertai ucapan tahniah dan doa tersendat-sendat mengalir dari lisan mereka untuk kami.

Sungguh tidak disangka ketika kami sampai di Hauptbahnhof, orang-orang telah menunggu kami. Sebagian dari mereka membawa bingkisan juga makanan membuat saya terharu apalagi ketika seorang muslimah membawakan pepes ikan mas saat itu dikarenakan ia ingat pernah berjanji ingin membuatkan masakan itu untuk saya. Ia berharap kami memakannya saat di kereta yang akan mengantarkan kami ke bandara di Hamburg.

Saat kereta hampir tiba satu persatu para muslimah yang mengantar, saya peluk untuk yang terakhir kalinya. Sekuat daya saya berusaha menahan air mata, saat itu saya hanya ingin memberikan senyum untuk mereka. Kehadiran mereka saat itu sebenarnya sangat ingin saya hindari karena keberadaan mereka untuk mengantar dan melepas kepulangan kami ke tanah air hanya akan membuat hati saya bertambah berat meninggalkan Berlin. Untuk itulah jauh-jauh hari kami memesan tiket sengaja tidak di hari libur dan mengambil penerbangan dari Hamburg, berharap tidak akan ada pemandangan seperti di hadapan kami sekarang.

Sehari sebelumnya ketika diadakan pengajian rutin di masjid, saya pun dikejutkan dengan acara perpisahan untuk kami. Tanpa persiapan sama sekali, saya pun didaulat untuk menyampaikan sesuatu di hadapan jamaah. Saya hanya ingat sebagian kata-kata yang sempat saya ucapkan saat itu bahwa saya mencintai mereka semua karena Allah, dan semoga Allah menggolongkan saya dan mereka ke dalam golongan orang-orang yang mendapat naungan di saat tiada naungan selain naunganNya.

Ada banyak wajah berkelebatan seiring pesawat yang mulai meninggalkan landasan. Akhirnya, tak mampu lagi saya menahan bulir kristal bening mengalir di pipi saya. Berbagai rasa berkecamuk saat itu, termasuk rasa sedih dan sesal.

Teringat pada ibu tua yang saat itu turut mengantar kepulangan kami. Ibu tua yang telah membuat hati saya berdesir karena semangatnya belajar membaca qur’an mengalahkan kondisi fisiknya, ia salah seorang yang menginspirasi semangat saya selama ini.

Terbayang pula Svetleona, seorang profesor berkebangsaan Rusia yang menjadi guru kursus bahasa Jerman saya yang pertama. Dulu, ia yang atheis pernah meminta saya membacakan qur’an, karena ia merasakan hatinya tentram ketika mendengarkan kalam ilahi tersebut. Sayang sekali, saya tak menggunakan kesempatan baik tersebut untuk menjadi jalan hidayah baginya.

Terbayang pula Ursy, wanita Jerman yang mengasuh putra saya saat saya mengikuti kursus. Ia pernah mengundang saya ke rumahnya dan tampak sekali ia sangat kesepian karena selama ini hidup sendiri. Sayang sekali, saya tak pernah lagi datang ke rumahnya, padahal ia sudah menunjukan respek yang luar biasa setelah kami berbincang mengenai ASI bagi bayi dalam ajaran Islam. Lagi-lagi kesempatan ini berlalu begitu saja.

Begitu juga dengan Anne, wanita Perancis yang mengajar bahasa Jerman di level berikutnya, awalnya ia kesal karena segala bujukannya agar saya berhenti puasa saat hamil tidak saya penuhi. Namun, setelah kejadian itu Anne menjadi tertarik dan mulai ingin mengetahui Islam. Kesempatan bagi saya mengenalkan Islam padanya pun berlalu. Begitu pula upaya saya bagi umat Islam Indonesia di Berlin terasa masih sangat minim.

Istighfar terus menerus saya bisikan dalam hati, memohon ampun padaNya atas banyak kesempatan baik mengenalkan Islam yang telah terlewatkan begitu saja, juga atas banyak kesempatan untuk melakukan amal kebaikan yang juga berlalu begitu saja. Saya terlena dengan segala rutinitas yang saya jalani di sana, seolah akan selamanya bermukim di sana. Sehingga saya tidak bergegas menyongsong segala kesempatan baik yang datang dan menjadikannya sebagai bekal ketika hari perjumpaan denganNya. Saya sering lupa bahwa hidup itu fana yang oleh karena kefanaannya itu sudah semestinya setiap saat di mana pun berada dan kapan pun waktunya, apa pun yang dilakukan selalu diorientasikan untuk menabung amal kebaikan yang akan dirasakan hasilnya pada saatnya nanti.

Namun, rasa syukur tetap saya panjatkan kepada Allah. Atas ijinNya, saya menyadari kelalaian saya saat ini, kala umur masih dikaruniakanNya. Jika saja Allah tak memberikan kesadaran ini, apalah artinya penyesalan terjadi bila saya telah meninggalkan dunia untuk dimintai pertanggungjawaban oleh Allah sebagai hambaNya. Harus selalu saya tanamkan dalam hati, karena hidup di dunia ini fana, maka banyak “menabung” untuk kehidupan yang kekal nanti. Alangkah indah meresapi sabda Rasulullah bahwa sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat buat sesama.

Berbagi di eramuslim

Tinggalkan Balasan