Saat Pengorbanan Berbingkai Ikhlas

Pernahkah Anda memiliki sebuah cita-cita kemudian Anda berusaha mewujudkannya, namun ketika hal yang diimpikan itu sudah di hadapan mata, Anda harus melepaskannya? Bagaimana perasaan Anda saat itu?

Seorang muslimah sebutlah Tiara, pernah menghadapi hal tersebut. Bukan suatu hal yang mudah baginya untuk mengukir keikhlasan di hati melepas apa yang ia cita-citakan selama hidupnya ketika jalan untuk meraihnya mulai terbentang.

Sejak di bangku kuliah, ia sudah mulai menata langkah untuk mewujudkan impiannya itu. Ia tak pedulikan seloroh teman-temannya akan program studi yang ia pilih. Ia bukan program favorit di kampusnya. Hanya segelintir orang yang mengikuti, walaupun saat itu telah bertambah jumlahnya sekitar 9 mahasiswa. Sebuah program studi yang tidak menjanjikan masa depan. Peluang untuk dapat pekerjaan di bidang tersebut amat sempit, demikian penilaian teman-temannya. Tapi Tiara tak bergeming, tetap dengan pilihannya.

Langkah selanjutnya ia tempuh dengan mengabdikan diri di sebuah lembaga penelitian. Ia berharap suatu saat nanti, dirinya menjadi peneliti yang hasil risetnya memiliki manfaat besar untuk umat. Ia selalu merasakan kekaguman di hatinya setiap kali melihat raut muka para senior di tempat ia mengamalkan ilmu selepas masa kuliahnya.

Ya, raut muka yang selalu terlihat resah ketika berdiskusi dengan rekan-rekannya, memikirkan problem umat berdasar disiplin keilmuan mereka. Mereka berpikir dan terus berpikir kemudian menuangkannya dalam bentuk riset seraya berharap hal tersebut menjadi salah satu solusi atas sebuah permasalahan yang dihadapi masyarakat. “Sungguh mulia pekerjaan ini”, bisik hatinya makin memantapkan tekadnya.

Berbilang tahun ia mengabdikan diri di tempat tersebut dengan sepenuh hati. Namun atas suatu keadaan, ia akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pengabdiannya itu. Banyak rekan kerja termasuk atasannya yang baik hati menyayangkan keputusan dirinya. Suatu respon yang ia rasa wajar.

Apalagi saat itu atasannya sedang mempromosikan dirinya untuk melanjutkan studi ke jenjang berikutnya dan telah merancang sebuah proyek penelitian yang diproyeksikan untuk dikerjakannya.

Meski Tiara merasa berat, terutama ketika hendak menyerahkan surat pengunduran diri kepada atasannya, ia tetapkan hati dalam panduan istikharah untuk berhenti dan memilih mendampingi suaminya yang akan menempuh studi di negeri orang. Ia berharap jika hal tersebut dianggap sebagai sebuah pengorbanan, maka ia tujukan pengorbanannya ini sebagai ibadah padaNya.

Hanya beberapa orang saja yang mendukung keputusannya ini, diantaranya teman sebelah mejanya. Ia seorang muslimah yang telah berhasil menyelesaikan program Doktor ditengah kesibukannya mengasuh kedua buah hatinya. “Seandainya saat ini saya dalam kondisi sepertimu, saya akan memilih untuk menemani suami,” demikian temannya itu memberi dukungan.

Alangkah senang hati Tiara ketika ia merasa tak sendirian yang mengambil keputusan demikian.

***

Di negara tempat suaminya menempuh studi, ia bertemu dengan beberapa muslimah yang rela menanggalkan profesinya sebagai dosen, dokter, dll. untuk mendampingi suami mereka studi. Tidak terlihat rasa sesal dalam sikap mereka atas pilihannya itu. Bahkan mereka terlihat begitu bersemangat memberi dukungan kepada suaminya masing-masing.

Tiara merasakan hal yang lebih menakjubkan dirinya ketika berjumpa dengan pasangan suami isteri yang mana keadaanya terbalik dengan dirinya serta beberapa teman barunya tadi.

Di negeri tersebut, ia bertemu pula dengan para suami yang rela hati mendampingi isterinya melanjutkan studi. Diantara mereka ada yang berprofesi sebagai dokter, dosen, pengusaha, staf sebuah perusahaan, dll.

Tapi Tiara tak melihat para suami itu minder dengan jenjang pendidikan isterinya yang lebih tinggi, bahkan mereka ekspresikan bentuk dukungan pada isterinya dengan gesit melakukan peran yang biasanya saat di Indonesia lebih sering dikerjakan isterinya, seperti memandikan anak-anak, mengantar dan menjemput mereka dari sekolah, membacakan buku pengantar tidur, belanja, memasak, membersihkan rumah, mencuci, termasuk menjaga, merawat dan mengasuh bayi setelah cuti melahirkan isterinya usai.

Semua mereka lakukan dengan senang hati di saat para isterinya berkutat dengan buku-buku dan diktat kuliah, pekerjaan laboratorium dan segala sesuatu yang berkaitan dengan studinya. Bahkan, ada seorang suami yang tetap dapat menjalankan bisnisnya secara online via internet di tengah rutinitas pekerjaan rumahtangga dan memomong anak-anak.

Subhanallah! Luar biasa, rasa kagum Tiara bertambah.

Tiara benar-benar merasa takjub menyaksikan semua itu. Tiara menyukai tipe keluarga demikian, yang dapat berbagi peran dengan fleksibel. Tak selalu harus sang isteri yang menyiapkan sarapan pagi atau menyiapkan teh hangat di sore hari, atau mengganti popok dan memandikan anak, juga memasak untuk makan siang maupun malam. Semua bisa dilakukan oleh mereka berdua, tak ada pemisahan tugas yang sifatnya kaku. Siapa yang sedang luang, tanpa berat hati melakukannya untuk keluarga mereka.

Awalnya Tiara membayangkan betapa berat para suami tersebut kala harus mengalahkan ego dirinya sebagai kepala rumah tangga, imam bagi anggota rumahnya sekaligus pencari nafkah utama bagi keluarganya, jeda sementara waktu dari profesi atau karirnya untuk kemudian mengambil peran penting yang sangat meringankan juga mengayomi dan menentramkan isterinya dalam menuntaskan studi di negeri orang. Sungguh, sebuah pengorbanan yang luar biasa, pikir Tiara.

***

Namun akhirnya Tiara tersadar bahwa segala apa pun bentuk “pengorbanan” yang dilakukan seseorang, akan terasa ringan jika semuanya dibingkai dengan keikhlasan. Tentu saja, karena Allah sang penggenggam hati sangat senang pada hamba-hamba yang melakukan sesuatu dengan ikhlas, hanya mengharap keridhaanNya. Dengan demikian Allah akan memberikan rasa lapang di hati, hal yang menjadikan segala sesuatu tak terasa berat dikerjakan.

Ikhlas, kata yang sangat mudah diucapkan namun sangat menguji diri kita ketika mengamalkannya. Tetapi kita memang harus selalu berusaha menghiasi hari dan membingkai amal-amal kita termasuk yang kita sebut sebagai pengorbanan hanya dengan satu kata, ikhlas.

Berbagi di eramuslim


Tinggalkan Balasan