Sie sind gute Frau

Usai mengantar anak-anak ke kelasnya masing-masing di Kindergarten adalah saat-saat perang bathin yang sering mengiringi langkah kaki meninggalkan gedung tersebut. Pikiran saya sibuk dengan dialog dua sisi hati yang berbeda antara melanjutkan anak-anak bermain di tempat tersebut agar belajar berbagai hal bersama teman-temannya dengan bimbingan seorang pendidik yang memahami jiwa anak-anak, atau menarik mereka dari Kindergartentersebut kemudian saya didik dan temani mereka bermain di rumah.

Sebagai seorang ibu, tentunya perasaan selalu ingin dekat dengan buah hati merupakan suatu hal yang wajar saya rasa. Apalagi di usia balita, saat tumbuh kembang mereka terjadi begitu menakjubkan, ingin sekali rasanya mereka selalu ada di hadapan mata, menikmati semua kelucuan, keceriaan dan gerak gesitnya sekalipun terkadang perlu menata kesabaran hati saat mereka berebut mainan, saling mempertahankan diri hingga berteriak dan menangis histeris.

Seperti tadi pagi, saya terpekur menatapi trotoar jalan menuju rumah. Hati saya resah dan mulai memikirkan kembali peran saya selama ini sebagai sorang ibu. Tiba-tiba seorang lelaki kira-kira separuh baya mendekat dan menyapa saya.

Guten Morgen! Ich habe eine Frage“, ujarnya sambil menatap saya sungguh-sungguh.

Saya yang tak menyangka akan disapa, spontan membalas salamnya dan mempersilahkan lelaki tersebut menyampaikan apa yang ingin dia tanyakan. Saya menduga sepertinya ia tengah membutuhkan pertolongan.

Sejenak lelaki tersebut terdiam kemudian mengulang kalimat yang sama bahwa dia memiliki suatu hal yang ingin ditanyakannya pada saya. Sekali lagi saya mempersilahkannya sambil berusaha untuk serius menyimak apa yang akan disampaikannya, karena biasanya intonasi orang yang sudah agak tua lebih sulit saya pahami ketika mereka berkata-kata.

Kemudian dia menatap saya seraya mengucapkan sesuatu. Benar saja perkiraan saya sebelumnya, saya benar-benar sulit menangkap apa yang ia katakan. Dengan sopan saya meminta lelaki itu mengulang lagi dengan perlahan apa yang tadi ia ucapkan dan saya sampaikan alasannya bahwa saya orang yang belum fasih berbicara dan mendengar obrolan bahasa Jerman.

Ia mencoba menyampaikan lagi ucapan yang telah ia sebutkan tadi, tapi sayang sekali saya tetap kesulitan memahaminya. Akhirnya saya memohon maaf dan berterus terang padanya bahwa saya tak mengerti apa yang dia sampaikan.

Dengan senyum terkembang, ia mengibaskan tangan dan menggeleng-gelengkan kepalanya menandakan agar saya tak perlu merasa bersalah karena tak bisa menangkap apa yang dikatakannya.

“Sie sind gute Frau, hundert Prozent gute Frau!” (Anda wanita yang baik, 100 persen!) Tiba-tiba lelaki tua itu mengatakan serangkaian kalimat yang berbeda dengan sebelumnya dengan mimik serius, setelah sebelumnya ia mengamati saya sepintas.

Saya tidak tahu harus menjawab apa, tetapi lelaki setengah baya itu terus mengatakan kalimat itu berulang-ulang.

“Ich habe das ernst gemeint!” (saya serius), ujarnya lagi.

“Ich mag Sie! Ich sehe dass Sie eine gute Frau sind” (saya suka Anda, saya lihat Anda wanita yang baik), lanjutnya seraya membungkukkan badannya penuh hormat dengan gaya membungkuk seperti orang Jepang.

Tanpa mau berlama-lama lagi karena merasa ternyata ia bukanlah orang yang sedang memerlukan pertolongan sebagaimana saya duga, akhirnya saya ikuti gerakannya sambil mengucapkan terimakasih dan salam perpisahan.

“Danke schön, auf wiedersehen!” ucap saya sambil bergegas pergi.

Sepanjang meneruskan perjalan tak henti saya beristighfar. Sebuah kejadian sederhana namun tak diduga tadi, cukup membekas di hati saya. Iseng atau tidak lelaki itu mengucapkan penilaian tersebut, saya menangkapnya sebagai sebuah teguran Allah bahwa saya masih sangat jauh dari apa yang ia nilai, apalagi di hadapanNya.

Di setiap langkah kaki menuju rumah terbayang segala peran saya selama ini baik sebagai anak, isteri, ibu, saudara, teman, juga sebagai bagian dari masyarakat. Tak terasa butiran air mata menetes, berkali-kali saya ucapkan istighfar menyadari betul berbagai kelemahan diri saya selama ini. Saya merasa belumlah pantas penilaian tersebut tersemat pada diri saya. Terngiang kembali uraian ustadz Saiful Bahri saat Ramadhan lalu tentang wanita-wanita berahlak mulia penghuni surga seperti Asiah isteri Fir’aun, Maryam bunda nabi Isa as, Khadijah dan Fatimah, isteri dan puteri sang manusia agung Rasululullah saw.

Saya berharap Ramadhan yang baru saja berlalu menjadi awal penempaan diri saya untuk menjadi muslimah sejati dalam berbagai peran yang saya lakoni di dunia hingga kelak hanya Allah sajalah yang menyematkan penilaian itu di akhirat, Amiin.

*Keterangan:
Kindergarten = taman kanak-kanak
Guten Morgen! = Selamat Pagi!
Ich habe eine frage = saya ingin bertanya
Danke schön = terimakasih
Aufwiedersehen = Sampai jumpa lagi.

Berbagi di eramuslim

 


Tinggalkan Balasan