Sebentuk Cinta untuk Palestina

Pagi itu aku tergugu membaca berita tentang kondisi Palestina yang semakin menyayat hati di sebuah situs Islam. Tak terasa mataku basah dan hatiku menggigil merasakan penderitaan rakyat Palestina di mana Israel laknatullah telah begitu semena-mena memboikot sarana vital seperti listrik dan air. Tak lama kemudian dering handy membuyarkan semua bayanganku tentang warga di Gaza,

“Assalamu’alaykum…Teh, hari ini ternyata masih streik ya? Jadinya maaf ya terpaksa aku ga bisa ke rumah teteh…”

Setelah kujawab salamnya, aku pun mengiyakan permohonannya. Baru saja pembicaraan kami selesai, telpon rumah berdering…dan ternyata, saudariku yang lain menyampaikan hal yang sama. Pagi itu aku jadi sibuk menjawab telpon dari mereka dan pertemuan hari itu terpaksa dibatalkan.

Sudah menjadi rutinitas kami (ibu-ibu rumah tangga) setiap akhir pekan berkumpul untuk mengaji. Namun karena di Berlin sedang terjadi streik besar-besaran dari para supir bis dan kereta, maka keadaan ini berimbas pula pada aktivitas kami.

Aku tercenung sesaat, rasanya tak ingin menyerah begitu aja pada kondisi yang ada. Teringat pada warga Palestina yang tetap sabar dan teguh hati menghadapi berbagai tekanan dan beratnya hidup yang mereka jalani saat ini. Yah aku ingin hari ini sekalipun raga kami tak bisa berkumpul, hati kami bisa tetap terikat satu sama lain. Hmm…aku punya ide! Teriak hatiku setelah beberapa saat memikirkan kegiatan apa yang bisa kami lakukan agar agenda kami “mengaji” tetap bisa berlangsung.

Kuraih handyku dan mulai mengetikan beberapa kalimat…”Assalamu’alaykum, gimana kalau hari ini kita lakukan tilawah juga shalat sunnah kemudian kita khususkan berdoa untuk saudara-saudara kita di Palestina? Dan, mari luangkan waktu membaca berita-berita tentang kondisi Palestina terkini agar hati kita bisa merasakan apa yang sedang terjadi di sana.” Demikian kalimat-kalimat yang kuluncurkan lewat sms kepada mereka. Alhamdulillah, mereka setuju.
========================

“Dinda, Mas berangkat dulu ya?.” tiba-tiba suara suamiku menyeruak memecah keheningan kala untaian doa untuk Palestina baru saja kuakhiri.
“Mas bener-bener mau ikut aksi itu sedang kondisi streik begini?” ujarku, kulipat sajadah krem berbaur coklat kesayanganku, lalu segera kuhampiri suamiku.

“Mas mau naik apa ke tempat berkumpul mereka?”kuungkapkan sedikit kekhawatiranku mengingat hari itu Berlin seperti lumpuh setelah tiga hari berturut-turut para supir dan masinis melakukan aksi mogok.
“Insya Allah, ada cara untuk sampe ke sana..”. jawab suamiku mantap.
Rasa malu karena kecemasan akan keadaan suami tiba-tiba menjalari hatiku, teringat para muslimah Palestina yang tegar dan bersemangat mengantar kepergian suami dan anak-anak mereka untuk berjihad.

“Hmm…baiklah, hati-hati ya sayang?”
Aku tak ingin menghalang-halangi niat tulusnya berkumpul bersama saudara-saudara muslim dari berbagai bangsa yang hari itu akan menggelar aksi solidaritas untuk Palestina. Sayang sekali aku tak bisa ikut dia, karena anak kami yang paling kecil sedang kurang sehat, apalagi cuaca siang itu kurang baik untuk kondisinya.

Kuantarkan suamiku hingga di depan pintu. Kuraih tangannya dan seperti biasa kulakukan sungkem dan anak-anak kami pun berebutan meniru tingkahku…lalu suamiku mencium kening kami bertiga dan segera bergegas menerobos rintik-rintik hujan.

“Duh Palestin, baru seperti inilah yang bisa kami lakukan untukmu…” desahku lirih, kupeluk anak-anak yang sedari tadi bergelayutan di tanganku minta digendong. Mereka tertawa-tawa ceria, kala kucandai mereka…tiba-tiba pikiranku melayang pada bocah-bocah Palestin, adakah mereka tetap bisa merasakan cerianya dunia mereka di tengah kelaliman zionis yang telah merusak negerinya. Kembali mataku basah dan hatiku nyeri.

 

berbagi di eramuslim

Tinggalkan Balasan