Perisai Diri di Jantung Jerman (#3)

Ketika Profesor Rusia itu Minta Dibacakan Al-Qur’an

Ja, Guten Morgen?!”… terucap salam dari seraut wajah bermata hijau yang menyembul di balik pintu setelah beberapa saat diketuk. Tatapannya tertuju pada seorang wanita Jerman bernama Frau Larscheid yang tak lain adalah pimpinan lembaga tempat ia berkiprah. Saat itu Frau Larscheid yang ramah dan kharismatik sedang mengantarku ke kelasnya, sebuah ruang kursus bahasa Jerman bagi pemula.

Frau Larscheid menjawab salam wanita tadi begitu pula aku. Wanita itu kini menguakkan pintu lebih lebar, terlihat keseluruhan postur tubuhnya yang tinggi besar. Ia hanya sepintas memandangku tanpa membalas senyumku.

Dalam hitungan detik kembali matanya tertuju pada Frau Larscheid. Dengan seksama ia mendengarkan penjelasan Frau Larscheid bahwa hari itu muridnyanya akan bertambah yaitu aku, walaupun sudah telat seminggu dari batas akhir masa pendaftran. Frau Larscheid pun meminta ia untuk mengizinkanku membawa anakku ke ruang kursus hingga para Kinderbetreuung yang sampai saat itu masih kerepotan mengasuh beberapa anak dari para peserta kursus, siap menerima putraku.

Dibanding dengan teman-teman yang bersamaan denganku datang ke Berlin, aku sendiri yang belum ikut kursus bahasa karena semua tempat kursus yang ada, tidak memfasilitasi Kinderbetreuung untuk anak di bawah usia 2 tahun, sedangkan saat itu anakku masih berumur setahun. Jadilah aku belajar otodidak, hingga suatu hari ketika sedang berjalan-jalan bersama putraku tak jauh dari apartemen tempat kami tinggal di Sparr Strasse, kubaca sebuah pamflet yang memberitahukan ada kursus gratis khusus untuk perempuan asing, dan tempat kursus tersebut memperbolehkan membawa anak di bawah umur 2 tahun.

Alhamdulillah, aku merasa gembira saat itu, karena berat rasanya hidup di negeri orang tanpa bisa berkomunikasi dengan bahasa yang digunakan negeri tersebut. Sebenarnya saat membaca pamflet itu, pendaftaran sudah ditutup. Namun mendengar informasi dari seorang sahabatku tentang masih ada peluang kursus di situ, akhirnya aku nekat mendatangi tempat itu. Dan, itulah awal aku mengenal sosok guru kursus bahasa Jermanku yang pertama.

Setelah Frau Larscheid menyudahi percakapan dengannya dan berlalu diiringi ucapan selamat belajar padaku, wanita bermata hijau dan berambut coklat terang itu menatapku dari ujung kepala hingga kaki. Ia tertegun beberapa saat, sorot matanya seolah tak percaya melihat sosok di hadapannya, wanita Asia dengan gamis dan jilbab lebar menggendong anak kecil akan menjadi peserta kursusnya. Ku balas tatapannya dengan senyum dan sorot mata berusaha meyakinkan bahwa aku serius, ingin belajar. Tak lama kemudian ia mempersilahkanku masuk.

Wanita itu sekilas mengenalkanku pada peserta kursus lainnya dan ia pun mengenalkan dirinya. Kini kuketahui sedikit tentangnya, ia bernama Svetleona, seorang profesor di bidang literatur berkebangsaan Russia. Ia bergabung dalam sebuah komunitas peduli orang asing di Berlin sebagai pengajar tata bahasa Jerman untuk pemula. Selain dirinya, ada juga Aimee-berkebangsaan Perancis mengajar kelas percakapan, Marco berdarah campuran Itali-Jerman mengajarkan kami melukis dan Huebert memandu kelas komputer.

Kesan pertamaku pada sang profesor, ia begitu ‘angker’ saat mengajar. Berkali-kali pandangannya tertuju padaku, memastikan bahwa anakku tak kan membuat keonaran. Alhamdulillah, putraku diberi ketenangan oleh-Nya. Ia duduk dalam pangkuanku sambil mencoret-coret kertas yang kuberikan padanya, terkadang ia asyik dengan mainan yang kubawa. Sesekali aku minta ijin pada Svetleona untuk menyusui putraku di dalam kelas tersebut. Hal ini cukup menyedot perhatiannya juga peserta kursus lainnya. Sementara itu, putraku nyaman di balik jilbabku.

Dari hari ke hari, suasana kelas saat Svetleona mengajar semakin terasa menegangkan. Terutama saat kemampuan kami diuji dengan cara bergiliran mengisi setiap soal grammer yang sudah ia siapkan di papan tulis. Suasana kelas terasa hening dan ketegangan semakin terasa saat ia mendamprat atau bergumam dengan muka kesal.

Berbeda saat kami mengikuti sesi percakapan yang dipandu Aimee yang lembut dan humoris. Semua peserta antusias dan tak takut bercakap-cakap menggunakan bahasa Jerman. Aimee selalu memotivasi kami untuk berani berbicara dan ia selalu berpesan pada kami, jangan takut salah!

Begitu pula saat mengikuti kelas melukis bersama Marco, rasanya waktu cepat berlalu dan tiba-tiba saja di hadapan kami ada selembar karya masing-masing. Serasa tak percaya kami bisa melakukan sesuatu sesuai arahan Marco, dan tanpa disadari, kami telah bercakap menggunakan bahasa Jerman dengan Marco. Hal ini dikarenakan Marco pandai memanfaatkan suasana, selalu mengajak kami bicara tentang apa yang sedang kami tuangkan dalam lukisan yang kami buat. Komentar-komentarnya membuat para peserta kursus tersenyum senang, terasa sekali aroma motivasi yang ditebarnya menyemangati kami.

Sungguh kontras sikap teman-temanku saat usai belajar bersama sang profesor dibanding bersama guru-guru lainnya. Setiap jam istirahat tak pernah absen telingaku dari keluhan teman-teman kursus akan sikapnya. Dan berulangkali pula aku berusaha membesarkan hati mereka. Sambil berbagi makanan bekal dari rumah bersama mereka, kuajak teman-temanku berpikir positif tentang Svetleona. Memang tak kusangkal pendapat mereka tentang Svetleona, tiga orang Afrika, empat orang Turki, satu orang Malaysa ditambah seorang muslim Macedonia merasa tak nyaman dengannya termasuk aku sendiri, begitu juga peserta kursus ruang sebelah (satu level di atas kami) yang pernah menjadi muridnya.

Tapi aku selalu berusaha untuk menjalankan pesan suamiku agar selalu mengingat-ingat kebaikan seseorang dan aku pun berusaha menepis “keangkeran” Svetleona itu. Aku hanya ingin menempatkan ia di hatiku sebagai guru yang harus kuhormati dan kucintai karena ia tanpa pamrih mengajariku memahami bahasa Jerman. Ia telah meluangkan waktunya untuk kami karena proyek sosial itu tak memberi imbalan apa pun untuknya, sedangkan kami memperoleh banyak ilmu darinya. Rasanya tak adil jika kami hanya menyoroti “keangkerannya” saja.

Setelah kupikir dengan segenap kejernihan hati, pemicu suasana tegang di kelas tak lain adalah ulah kami sendiri. Svetleona geram sekali bila kami datang terlambat, ia sangat disiplin dalam masalah waktu. Tak ada alasan terlambat baginya, karena jarak rumah kami ke tempat kursus tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan jarak rumahnya yang sangat jauh, hampir di luar Berlin.

Ia juga sering kesal bila kami lupa dengan pelajaran yang pernah diberikan sebelumnya, ia anggap kami tak serius belajar dan yang lebih membuat ia murka manakala kami melanggar sopan-santun. Svetleona merasa tak nyaman bila saat ia mengajar, tiba-tiba di antara kami ada yang (maaf) buang ingus dengan suara nyaring. Musim semi memang sering menyebabkan orang yang sensitif terhadap polen bunga atau debu menjadi bersin, demikian juga saat musim gugur, banyak orang terkena flu, dan bunyi-bunyian yang dikeluarkan dari hidung itu seolah menjadi lazim di sini pada musim-musim tersebut. Namun Svetleona tak ingin murid-muridnya melakukan hal yang kurang etis itu di hadapannya.

Ternyata, ketika aku berusaha menghargai dan menghormati segala kelebihannya serta menerima apa adanya Svetleona, berusaha memahami apa keinginannya dan harapan-harapan terhadap murid-muridnya, hasilnya sebanding dengan apa yang kulakukan terhadapnya. Svetleona sekalipun tetap bermuka dingin namun kurasakan ada selarik hangat dari hatinya. Entah sejak kapan, ia memiliki kebiasaan baru, selalu memelukku dan berbicara atau menyapaku penuh keramahan. Hal ini membuat teman-teman kursusku heran, tak terkecuali aku sendiri.

Bahkan ketika diadakan acara kelulusan naik level sekaligus perpisahan dengannya, Svetleona membuatkan kue khas Moskow untuk kami dan ia menyebutkan semua bahan untuk membuat kue itu aman untuk dimakan muslim. Sementara itu ia tunjukkan sikap tertarik dengan klepon dan nasi goreng yang kubawa demikian pula terhadap makanan ala Turki, Afrika dan Macedonia. Di akhir acara ia berharap kami akan tetap melanjutkan kursus di tempat tersebut.

Beberapa bulan berselang, aku kembali ke tempat di mana Svetleona dan kawan-kawannya mengabdikan diri. Tak lain untuk sekedar memenuhi undangannya melalui sepucuk surat yang dilayangkan ke rumahku seminggu sebelumnya. Kupenuhi undangan tersebut, namun sebenarnya kedatanganku saat itu hanya ingin menyampaikan bahwa aku tak bisa menyambut ajakannya untuk melanjutkan belajar di tempat itu lagi.

Suasana lengang terasa sepanjang koridor, hanya sayup-sayup terdengar suara dari beberapa kelas yang tertutup pintunya. Ketika akhirnya wajah dingin itu ada beberap meter di hadapanku, dengan segera ia berlari begitu melihatku dan memelukku penuh suka cita. Ia memintaku menunggu di sebuah ruang karena masih ada hal yang harus dikerjakannya. Kumanfaatkan waktu menunggu itu untuk membuka mushaf dan kubaca perlahan-lahan.

Ketika kuakhiri tilawahku dan berniat untuk berbalik arah, aku terkejut karena Svetleona telah berdiri mematung di belakangku, entah berapa lama, aku tak menyadari kehadirannya. Sesaat kemudian, ia menarik sebuah kursi dan meminta aku duduk kembali. Mata hijaunya menatapku lekat lalu ia bertanya, “Apa yang kamu baca itu? Kenapa perasaanku menjadi tentram?” Svetleona yang sudah lama tak mempercayai adanya tuhan, memintaku memperlihatkan apa yang kubaca. Aku pun menunjukkan mushaf biru yang selalu kubawa serta dalam tasku. “Ini adalah panduan hidup kami agar hidup selamat,”  jawabku.

“Bisakah kamu membacakannya lagi? Saya ingin mendengarkannya!” Aku mengangguk setuju, lalu kupilihkan surat Al-Ikhlas dan kusampaikan arti dari surat itu. Ia terbelalak, tersirat penasaran di paras mukanya dan terlihat ia hendak menanyakan sesuatu namun hal itu urung karena telpon genggamnya berbunyi dan ia segera bergegas pamit.

Sungguh tak kusangka, Svetleona yang di awal kami berjumpa begitu sinis, menatapku dingin tanpa senyum, kini ia merasakan ketentraman saat mendengar tilawah dan memintaku mengulanginya. “Hmmm…apa yang tadi hendak ditanyakannya ya?” rasa penasaran menyergapku, namun sayang setelah usai menjelaskan maksud kedatanganku, aku harus pamit karena satu janji yang harus segera kupenuhi. Dan, lebih disayangkan lagi ternyata aku tak pernah ke tempatnya lagi dikarenakan aku harus mulai bersiap-siap dengan masa melahirkan bayiku yang sudah semakin dekat.

Dengan segala keterbatasanku saat itu, aku hanya mampu berharap dan mendoakannya semoga rasa tentram yang menyelimuti hatinya saat mendengar al-Qur’an dibacakan hingga minta diulangi, begitupula dengan pertanyaan yang tak sempat dilontarkannya itu, adalah awal ketertarikan Svetleona pada Islam. Semoga akan ada seseorang yang menjadi pemandu baginya untuk mendapatkan hidayah-Nya.

Sekalipun rasa penasaran masih menggelayuti hati tentangnya, tetapi yang pasti kurasakan perubahan positif dari sikap Svetleona padaku dari waktu ke waktu. Setelah kurenungkan tak lain semua itu merupakan pertolongan Allah semata yang telah menuntunku membangun sikap dalam diriku bagaimana sebaiknya berinteraksi dengannya, antara lain selalu berusaha tepat waktu, bersungguh-sungguh saat belajar, bersikap sopan dan bertutur santun.

Sikap-sikap tersebut sebenarnya sudah tercantum dalam ajaran akhlak mulia seorang muslim. Dan ternyata ketika kita terapkan dalam keseharian, maka hal itu akan berbuah respek dari orang yang sebelumnya terlihat antipati. Oleh karenanya, beberapa sikap yang telah kusebutkan tadi itu pun kujadikan sebagai bagian dari perisai hidupku di negeri minoritas muslim.
Keterangan:
Guten Morgen = selamat pagi
Kinderbetreuung = pengasuh/ yang menjaga anak-anak

1 comment for “Perisai Diri di Jantung Jerman (#3)

Tinggalkan Balasan