Bercermin pada Kisah Totto-chan

Akhir-akhir ini saya disibukkan dengan pencarian informasi mengenai sekolah yang memiliki sisitem pendidikan ‘ramah anak’ dikarenakan anak pertama saya tinggal beberapa bulan ke depan akan masuk sekolah dasar.

Ketika saya bertanya pada orang-orang di mana gerangan sekolah yang bagus, jawaban yang saya terima hampir seragam. Mereka memaknai bagusnya sebuah sekolah dilihat dari bagunan fisiknya.

Bukan, bukan itu yang saya maksud tentang sekolah yang bagus. Saya lebih mengutamakan bagaimana para pendidik dalam menghadapi anak-anak didiknya. Saya lebih ingin tahu bagaimana cara gurunya mengajar dan menghadapi segala warna karakter dan potensi murid-muridnya. Sekalipun tak dapat dinafikan bahwa fasilitas sekolah secara fisik menentukan dalam kenyamanan dan kelancaran proses belajar-mengajar, tetapi bagi saya tetap saja hal tersebut bukan penentu utama.

Ada dua kisah yang menyebabkan begitu seriusnya saya dalam pencarian ini. Dan, menariknya dua kisah tersebut bermunculan kembali di benak setelah bertahun-tahun terkubur dari ingatan saya saat menyadari tak berapa lama lagi anak pertama saya akan mengakhiri masa-masa yang menyenangkan hidupnya di taman kanak-kanak.

***

Bangunan sekolah itu berdiri kokoh dan terasa luas buat seorang gadis kecil berusia 6 tahun yang baru saja menapakkan kakinya di sekolah dasar. Ia belum lama beradaptasi dengan lingkungan baru, teman-teman baru dan tentunya guru barunya.

Hatinya ciut seketika karena keriangan yang dinikmati semasa di taman kanak-kanak hanya sesaat ia rasakan di kelas baru itu seiring munculnya seorang guru yang menggantikan guru sebelumnya. Saat suasan kelas gaduh dengan tangisan beberapa anak, sang guru akan segera dapat membuat suasana menjadi senyap. Apa yang dilakukan beliau? Bukan, bukan mendongeng atau melakukan sesuatu yang mengalihkan perhatian dan menumbuhkan minat anak, akan tetapi yang dilakukannya adalah mendekati sang anak yang dianggap merusak suasana kelas lalu mencubit dan mengancam. Sontak seisi kelas menjadi “tenang” dengan hati diliputi rasa ketercekaman.

Memasuki jenjang kelas 2, si gadis kecil beserta teman-temannya dididik oleh guru yang sangat bengis. Saat ada anak yang terpatah-patah membaca atau tak bisa berhitung, maka sang guru akan langsung menghampiri dan mengambil sejumput rambut di bagian dekat telinga si anak lalu memelintirnya ke atas.Terkadang telinga si anak di jewer hingga merah menyemburat di telinganya dan terekspresikan dari wajah yang meringis menahan sakit.

Si gadis kecil tak pernah mengalami kekerasan dari para gurunya itu karena prestasi akademiknya menjadikan ia “anak emas” di tempatnya mencari ilmu. Namun, ia seringkali menyaksikan dari jenjang kelas satu sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama, kekerasan itu menjadi suatu pemandangan yang lumrah terjadi dan membekaskan trauma di hatinya hingga dewasa.

***

Kisah gadis kecil di atas adalah kisah yang saya alami sendiri. Hingga kini ternyata saya tak mampu menghindari trauma saat menyaksikan kekerasan yang terjadi dan menimpa teman-teman saya. Di masa tersebut saya sering memimpikan sekolah yang berbeda dari sekolah yang ada. Ah, mungkinkah itu?

Ternyata, sekolah impian itu ada! Ya, benar! sekolah impian itu ada dan baru saya ketahui saat saya telah melepas masa belajar formal di universitas dan sedang menapaki dunia karier. Seseorang telah menuturkan pengalaman masa kecilnya yang penuh dengan goresan kenangan yang menyenangkan. Seperti apa kisahnya? Dan, dimanakah sekolah itu berada? mari kita simak sebagian cuplikan kisah orang yang beruntung ini.

***

Seorang gadis kecil yang senang duduk di tepi jendela kelas tiba-tiba memanggil pemusik jalanan saat jam pelajaran berlangsung dan meminta mereka memainkan musik. Tentu saja kelas jadi tidak keruan. Di lain waktu, sang gadis kecil melongok keluar jendela dan bertanya,”Hei, kau sedang apa ?” berulang-ulang. Karena penasaran dan mengganggu suasana belajar, sang guru melihat keluar jendela, mencari tahu siapa yang diajak bicara oleh si gadis kecil, tidak ada siapa-siapa karena ternyata yang diajak bicara adalah sepasang burung Walet yang sedang membuat sarang.

Karena dianggap anak bandel atau nakal dan sulit diatur, akhirnya gadis kecil masih kelas 1 SD itu dikeluarkan dari sekolahnya. Padahal, ia bukanlah bandel atau nakal, hanya saja…tidak banyak orang yang bisa menghargai anak kecil yang penuh semangat dan rasa ingin tahu yang besar seperti dirinya.

Beruntung setelah dikeluarkan dari sekolah itu, sang ibu mengajaknya ke sebuah sekolah yang berbeda dengan sekolah-sekolah lainnya. Disebut berbeda karena anak-anak tidak belajar di gedung sebagaimana umumnya sekolah melainkan di gerbong-gerbong kereta tua yang sudah tak terpakai lalu disulap menjadi ruang yang menyenangkan bagi anak-anak.

Kenapa gadis kecil itu dikatakan beruntung disekolahkan di sana? Karena tempat tersebut dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang baik hati, tulus menyayangi dan mengerti betul perkembangan jiwa anak-anak. Kepala sekolah tersebutlah yang menilai dirinya sebagai seorang anak yang baik di saat guru yang lain menilainya sebagai anak bandel. Beliaulah yang bersedia berjam-jam melayani obrolan sang gadis kecil kemudian memutuskan untuk menerima ia menjadi bagian dari murid di sekolah itu.

Sang kepala sekolah menerapkan kebijakan menerima berbagai siswa dengan segala keunikan yang dianugrahkan Allah pada mereka. Di sana setiap anak bebas menentukan urutan pelajaran yang ingin mereka lakukan setiap hari juga tidak ada guru yang memaksakan atau menghukum ini dan itu. Beliau pun selalu mendorong semua murid untuk menjadi diri sendiri, menikmati kegiatan mereka dan tentunya belajar menjadi anak-anak yang sopan dan bertanggung jawab.

Sebagai contoh, ketika si gadis kecil mengaduk-aduk dan menguras isi kolam penampung kotoran karena ia sedang mencari dompetnya yang hilang terjatuh kedalam lubang kakus. Bukannya memarahi atau menyuruh berhenti, bapak kepala sekolah hanya berlalu dengan tenang ketika si gadis kecil berjanji akan mengembalikan semua kotoran kembali ke dalam lubangnya dan membersihkan kekacauan yang ia perbuat.

Di lain waktu si gadis kecil meminjam uang 20 sen untuk membeli sepotong kayu yang bisa menentukan orang sakit atau tidak dari tukang obat keliling. Pak Kepala Sekolah dengan senang hati meminjamkan uangnya asalkan ia boleh juga mencoba menggigit kayu tersebut. Padahal beliau sudah mengetahui kalau tukang obat itu adalah gadungan. Ia tak sampai hati merusak keceriaan dan semangat si gadis kecil yang begitu senang mengetahui kalau teman-teman dan kepala sekolahnya sehat setelah meggigit kayu tersebut.

Ah, sepertinya Anda sudah bisa mengingat kelanjutan kisah nyata yang dialami penulis bernama Tetsuko Kuroyanagi itu. Melalui tokoh utama bernama Totto-chan, ia menuliskan kisah masa kecilnya bersekolah di Tomoe Gakuen yang pernah ada di masa perang dunia ke dua di Jepang, sebagai wujud rasa hormatnya kepada sang kepala sekolah bernama Sasuko Kobayashi.

Kata-kata yang selalu terkenang dalam ingatan Totto-chan adalah saat Pak Kobayashi selalu mengatakan “kamu memang benar-benar anak yang baik”, apa pun ulah yang dilakukan Totto-chan di sekolah Tomoe. Hal ini membuat Totto-chan betah bersekolah di sana dan berjanji untuk menjadi anak yang lebih baik lagi.

***

Saya benar-benar terkesan saat membaca kisah nyata Totto-chan ini dan sulit dipercaya, ternyata setelah delapan tahun berlalu dari saya membaca kisahnya, potongan cerita terutama karakter pendidik sejati yang ada pada bapak Kobayashi begitu melekat dalam ingatan saya.

Rasanya masih terbayang bagaimana ketika Pak Kobayashi berusaha untuk menumbuhkan semangat dan memotivasi murid yang keadaan fisiknya berbeda dari teman-temannya. Beliau mengadakan lomba olah raga yang dirancang sedemikian rupa sehingga yang bisa melakukan dengan baik adalah murid khusus tersebut dan tentunya sang anak tersebutlah yang jadi pemenangnya.

Teringat juga saat Pak Kobayashi menetapkan aturan bekal yang dibawa anak-anak adalah yang bersumber dari darat dan laut. Sehingga setiap anak tidak minder ketika bekal yang dibawa berbeda dengan temannya karena yang terpenting makanan yang dibawa telah memenuhi kriteria makanan darat dan laut.

Masih banyak lagi kebijakan-kebijakan Pak Kobayashi yang sungguh membuat saya kagum sekaligus malu pada diri sendiri. Kenapa? Karena saya sebenarnya telah memiliki panutan yang luar biasa akhlaknya jauh melebihi keindahan akhlak sang kepala sekolah tersebut.

Sebenarnya, apa yang dilakukan Pak Kobayashi dalam hal menghargai dan menyayangi anak-anak, mengasuh dan mendidiknya dengan penuh ketulusan, telah diajarkan dan dicontohkan sendiri oleh Rasulullah SAW dalam kehidupan nyata beliau sebagaimana diriwayatkan dalam berbagai hadits.

Pak Kobayashi hanyalah sesosok manusia yang tanpa disadarinya telah meneladani kemuliaan akhlak Rasulullah SAW, yang membuat anak-anak didiknya merasa berharga menjadi manusia dan mengenang Tomoe sebagai sebuah tempat terindah sepanjang hidup mereka.

Walaupun sampai kini saya tetap merindu sekolah semodel Tomoe ada dan dapat dinikmati anak-anak saya, pada dasarnya sekolah tersebut dapat dibangun dalam rumah saya sendiri dengan bercermin pada kisah Totto-chan dan paling utama adalah saya harus berupaya dengan sungguh-sungguh meneladani kemuliaan akhlak Rasulullah SAW.

Ya, benar! dapat dibangun dalam rumah sendiri, karena saya adalah madrasah utama bagi anak-anak saya.

Berbagi di eramuslim

Illustrasi:Elnispero.wordpress.com

3 comments for “Bercermin pada Kisah Totto-chan

Tinggalkan Balasan ke Ineu Ratna UtamiBatalkan balasan