Sentuhan Cinta dari Perleberger Strasse

“Bun…Bunda, kita mau pergi nih, Bunda mau ikut?” tanya Kautsar sambil meraih tangan saya untuk sungkem.

“Iya, kita mau pergi Bunda…jauuuuh sekali!” Salsabila ikut berbicara.

“Wah…wah..wah, anak-anak Bunda yang shalih shalihah ini mau pada kemana, kok sudah rapi begini?”
saya terheran-heran melihat anak-anak yang sudah berpakaian rapi.

“Kautsar mau ke Al-Falah, mau belajar iqra sama om Rama dan teman-teman di sana, Kautsar kangen sama mereka”.

“Salsabila juga kangen sama Shabira, Shabrina, Shafa dan Ilma”.

“Tapi kan tempatnya sekarang sudah sangat jauuuuh?”, saya mencoba mengingatkan.

“Biarin…pokoknya kita mau berangkat! Kautsar dan Salsabila ingin belajar dan main di masjid Al-Falah…kita suka masjid Al-Falah!”

“Kan bisa belajar dan bermain dengan teman-teman di masjid dekat rumah ?”, bujuk saya sambil mengingatkan teman-teman baru mereka.

“Kautsar dan Salsabila senang dengan teman-teman di sini, tapi sekarang mau ke sana dulu ya, Bunda? kita kangen masjid Al-Falah”.

Kedua anak itu menghiba dengan menunjukkan muka ingin disetujui permintaannya.

“Salsa,… ayo sebentar lagi jam sebelas, kita harus segera berangkat, nanti bis M27* nya keburu lewat!” Kautsar mengajak Salsabila agar segera bergegas.

“Iya…sebentar! aku cari Teddy bearku dulu, aku harus mengajaknya”, suara Salsabila agak panik karena boneka kesayangan belum juga ditemukan..

***

“Sedalam itukah cinta mereka pada masjid Al-Falah?” sering pertanyaan itu terlontar dalam benak saya tiap kali mereka merindukan dan berkeinginan berangkat ke sana. Masjid yang sering dirindukan kedua permata hati saya itu hanyalah sebuah bangunan seperti rumah pada umumnya, terletak di lantai dasar sebuah apartemen di sudut jalan Perleberger (Perleberger Strasse) yang berbatasan langsung dengan jalan Feldzeugmeister (Feldzeugmeister Strasse).

Bangunan tersebut awalnya merupakan sebuah bar tempat kemaksiatan berlangsung. Namun setelah masyarakat Indonesia di sana bergotong-royong mengumpulkan dana untuk menyewa gedung tersebut, maka berubahlah ia menjadi rumah Allah yang menentramkan hati. Bangunan sederhana itu tak hanya digunakan untuk memenuhi kewajiban panggilanNya sehari dalam lima waktu, tapi di sana pun sering berlangsung berbagai aktivitas penuh manfaat bagi warga Indonesia dan muslim lainnya. Masjid itu menjadi ramai terutama di setiap akhir pekan.

Suara anak-anak yang berkelompok-kelompok mengaji rasanya terngiang kembali di telinga saya, juga kesibukan ibu-ibu saat menunggu putra-putri mereka selesai mengaji. Di mana sebagian ibu mengaji berkelompok dan sebagian lainnya menyiapkan makanan untuk disantap sewaktu istirahat, seolah nampak di depan mata. Begitu pula dengan muda-mudi yang berada di ruang tengah menyimak penjelasan Daniel (seorang mualaf Jerman yang memiliki pemahaman Islam cukup luas), seakan semua ada di hadapan mata. Segalanya tentang masjid di sudut jalan Perleberger itu, sering pula memunculkan kerinduan di hati saya, apalagi di hati anak-anak? Pastilah banyak kenangan mengesankan yang membuat mereka selalu merindukannya.

Sejak kepulangan kami ke tanah air, seringkali anak-anak merengek ingin berangkat ke masjid tersebut. Saya cukup kewalahan saat mencoba mengalihkan permintaan mereka yang tak mungkin kami penuhi saat ini karena jarak sudah terbentang ribuan kilo. Tetapi saya harus selalu mencari ide agar kerinduan mereka dapat terobati. Saya tak ingin memadamkan kerinduan mereka akan sentuhan cinta dari rumah Allah di sudut jalan Perleberger itu. Biarlah, cinta pada masjid tersebut tetap tumbuh di hati mereka. Semoga rasa itu selalu menyertai hingga kelak mereka dewasa menjadi pribadi-pribadi yang hatinya selalu terikat pada masjid.
***

“Bunda, kita berangkat ya?!”, Kautsar menggoyang-goyang lengan saya.

“Eh, iya…ya, tapi sebentar… Bunda mau lihatin ini dulu…”

“Apa itu Bunda?” Salsabila penasaran mendekat.

“Yuk, kita lihat!” ajak saya.

Akhirnya kami duduk bersama memandangi adegan demi adegan dari CD yang diputar. Sesekali mereka tersenyum bahkan tertawa melihat rekaman suasana masjid Al-Falah dalam suatu acara. Rasanya tak ingin berhenti menatap mata Kautsar dan Salsabila, mereka tampak bergembira, ada gemintang bersinar di sana.

——————————–

*= bis dengan rute Pankow-Jungfernheide, melewati Perleberger Str.

(Mengenang Masjid Al-Falah, Berlin.)

Berbagi di eramuslim

2 comments for “Sentuhan Cinta dari Perleberger Strasse

Tinggalkan Balasan ke Ineu Ratna UtamiBatalkan balasan