Mavi Marmara

Pagi itu, di sebuah ruas jalan pusat belanja legendaris di Berlin tak seperti biasanya. Kurfurstendamm nama jalan tersebut atau lebih populer dengan sebutan Kudamm penuh sesak dengan lautan manusia. Mereka tak menghiraukan udara pagi yang dingin menusuk tulang apalagi gerimis hujan saat itu enggan berhenti membasahi jalan, dedaunan, juga manusia-manusia di tempat tersebut yang berusaha menunjukkan kepedulian mereka pada sebuah negeri yang keadaannya memilukan hati siapa pun yang masih memiliki nurani.

Mereka berasal dari berbagai negara, berkumpul melakukan longmarch sepanjang jalan Kudamm, membawa serta berbagai spanduk di mana tertera di dalamnya segala yang mereka pikirkan dan meneriakkan segala isi hati sebagai upaya membuka mata dunia akan keadaan sebuah negeri yang penduduknya berada dalam penjara terbesar di dunia.

Freiheit für Palästina (Kemerdekaan untuk Palestina)

Stoppt die “Berliner Mauer” in Palästina! (Hentikan “Tembok Berlin” di Palestina)

Stoppt die Israelische Blockade! (Hentikan Blokade Israel)

Stoppt Den Volkermord In Palästina! (Hentikan Pembersihan Etnis di Palestina)

Das Rückkehrrecht der Palästinensen in Ihre Heimat ist unantastbar! (Hak Kembali ke Tanah Air bagi Orang Palestina Tak Dapat Diganggu gugat)

Gaza ist total abgeriegelt (Gaza benar-benar Terpenjara)

Gaza-isoliert von Freiheit + Gerechtikeit (Gaza Terisolasi dari Kebebasan dan Keadilan)

1,5 Milionen Menschen leben in einem grossen Gefängnis (1,5 Juta Orang Hidup dalam Penjara Besar)

Es mangelt an Lebensmittel und Medikamenten (Bahan Makanan dan Obat-obatan Sangat Langka)

Israel ist ein Apartheid-Staat (Israel adalah Negara Apartheid)

Israel’s Holocaust in Palästina (Holokaus Israel di Palestina)

Baris demi baris kalimat di atas adalah bunyi dari berbagai spanduk yang mengiringi langkah mereka menyusuri Kudamm. Tak hanya para pria yang melakukan aksi tersebut, para wanita termasuk diantaranya para ibu yang membawa serta bayi mereka dalam kereta bayi juga anak-anak turut serta mengekspresikan rasa peduli dan cinta mereka pada Palestina. Selain kaum muslimin dari berbagai negeri yang melakukan aksi peduli tersebut, terlihat pula para aktivis kemanusiaan setempat bergabung dalam longmarch tersebut. Mereka membawa spanduk bertuliskan “UN + EU look at GAZA! Shame on You!” (PBB + Uni Eropa lihatlah Gaza! Kalian sungguh memalukan!)

Bendera Palestina berikut kaefiyyah (kain seperti sorban bermotif kotak-kotak hitam putih yang menjadi ikon pejuang Palestina) pun tak luput mendominasi jalanan saat itu di sebuah pagi di bulan Maret 2008. Pemandangan yang sama kembali terulang di tahun 2009, saat Israel kembali melakukan agresinya.

Dukungan moril seperti di atas tak pernah terlintas sebelumnya dalam pikiran saya dapat terjadi di bumi Berlin. Apalagi dalam bentuk yang lebih dari sekedar longmarch, seperti yang terjadi penghujung Mei lalu saat para aktivis kemanusiaan menyatakan kepeduliannya melalui Mavi Marmara yang mengangkut ratusan relawan beserta berbagai keperluan hidup untuk rakyat Palestina. Kembali mata dunia internasional terbelalak dan geram dengan prahara yang terjadi dalam kapal tersebut. Lagi-lagi Israel mempertontonkan arogansinya dan lagi-lagi mereka menyatakan sebuah alasan klise atas nama pembelaan diri.

Sebuah prahara yang tentu saja terjadi atas kehendak Allah. Adalah suatu hal yang mudah bagi Allah untuk menyampaikan misi kemanusiaan itu selamat hingga tujuan. Bukan juga suatu hal yang sulit bagi Allah untuk mengenyahkan kebiadaban Israel di bumi Palestina. Tentunya Allah memiliki rencana yang kita tidak akan pernah tahu akan tetapi kita dapat merasakan hikmahnya dari setiap peristiwa yang terjadi.

“Bun…Bunda kenapa sedih?” suara bening putri kecil saya membuat saya terperanjat. Karena terlalu fokus pada acara sebuah stasiun televisi yang sedang menayangkan tentang berbagai kejahatan Israel, saya tak menyadari kehadiran putri kecil saya. Ia menghampiri dan memeluk saya seraya menghapus bulir-bulir air yang mengalir di pipi.

“Bunda…kenapa sedih?” ia menelusuri mata saya sambil mengulangi pertanyaannya. Pandangannya bergantian tertuju pada saya dan layar TV. Segera saya peluk erat tubuh mungilnya, tak mampu menjawab. Di pelupuk mata saya hanya terbayang kilasan tayangan stasiun TV tadi tentang bocah-bocah Palestin yang mengalami trauma hingga terenggut masa-masa indah mereka. Di atas sehelai kertas, mereka bukan menggambar bunga dan kupu-kupu berwarna-warni atau langit biru dan matahari yang tersenyum khas gambar anak -anak yang hidup dalam situasi normal, melainkan menggambar kebiadaban Israel dengan senapan terkokang yang telah menjadikannya yatim-piatu, menjadikannya kehilangan sanak-saudara, juga kehilangan teman sepermainan.

Tak berapa lama putri kecil saya melepaskan pelukannya. Ia berlari ke kamarnya, namun segera ia kembali sambil mengenakan mukena.

“Bunda sedih melihat orang-orang Palestina itu ya?”… ucapnya sambil bergelayut di pangkuan saya. “Kalau gitu, kita shalat dulu yuk, aku barusan dengar adzan, ayo kita doakan mereka, Bunda?!” ajak putri kecil saya…

Subhanallah! Saya tak mampu berucap lagi, keharuan terlalu sangat merajai hati. Allah telah memperingatkan diri saya melalui ajakannya. Saya pun segera berwudhu dan mengikuti putri kecil saya itu yang telah duduk menanti di hamparan sajadah kecilnya. Ya, doa…doa dan doa harus selalu kita pancangkan untuk Palestina. Terimakasih putriku…

 

Berbagi di eramuslim

Tinggalkan Balasan