Memaknai Bahagia

Kemarin seorang sahabat bercerita dengan penuh haru tentang tingkah laku buah hatinya yang gelisah menanti esok hari tiba karena pada hari yang dinanti-nantinya itu di Jerman ada perayaan Muttertag (hari ibu), ia ingin mempersembahkan sesuatu untuk ibunya. Anak-anak usia sekolah di Jerman memang dibiasakan menyambut hari ibu dengan memberi suatu hadiah dalam berbagai macam kreasi, bisa berupa untaian puisi, gambar, bunga dan lain sebagainya untukmewakili ungkapan cinta pada ibunya. Kepolosan tingkah anak yang ingin mebahagiakan ibunya itu mengingatkan saya pada suatu hal yang belum lama ini menyadarkan saya akan makna membahagiakan orangtua.

Sejak ayah berpulang ke hadiratnya di masa saya kecil, terpatri dalam pikiran saya bahwa salah satu cara membahagiakan ibunda adalah tidak membebaninya dengan masalah yang saya hadapi. Seberat apa pun masalah, saya selalu mencoba menyelesaikannya sendiri. Saya merasa ibunda sudah cukup berat bebannya, sendirian membesarkan kami lima bersaudara.

Apalagi ketika jarak dan waktu memisahkan antara saya dan ibunda, dimana hanya telpon yang menjadi penyambung ungkapan cinta dan rindu kami. Rasanya di setiap kesempatan menelpon saya hanya ingin mendengar suara khasnya yang lemah lembut dan menyejukkan. Ekspresi gembira ibunda sering terwakilkan pula dalam tawanya manakala mendengar celoteh anak-anak kami, hal ini menjadikan selaksa bahagia menyelusup dalam hati saya dan membuat betah berlama-lama menelponnya. Ingin sekali saya persembahkan sebanyak-banyaknya cinta yang dapat membuatnya bahagia. Untuk itu maka setiap perbincangan di telpon, di samping menanyakan kabar ibunda, kakak dan adik, saya upayakan menyelipkan cerita dan kabar kami yang bisa membuat ibunda bahagia.

Cara pandang itu telah melekat bertahun-tahun hingga ibunda menilai kehidupan yang saya jalani baik-baik saja. Saya senang mendapat penilaian tersebut dan terus berusaha menyenangkan hati beliau dengan cara-cara yang baik tentunya. Sebuah kebahagiaan yang sangat berarti buat saya membayangkan wajah penuh kasihnya tersenyum gembira dengan mata berkaca-kaca. Dari segala yang saya lakukan, sirat kebahagiaan itulah yang selalu saya harapkan.

Namun kemarin, adalah salah satu lembar hari yang menorehkan kesan tersendiri buat saya yang menjungkirbalikkan cara pandang saya dalam memaknai arti membahagiakan orangtua. Berawal dari perbincangan kami di telpon yang berujung pada mengalirnya cerita saya akan ujian hidup yang saat ini saya hadapi.

Isak tangis di seberang telpon menyadarkan saya untuk tak meneruskan cerita, saya pun segera memohon maaf karena telah membuatnya bersedih. Tetapi ternyata saya keliru memaknai tangisnya. Ibunda dengan tutur kata yang mengalir tenang di sela isaknya menyampaikan pada saya bahwa hari itu ia merasa menjadi sosok ibu yang utuh karena kini putrinya mau berbagi dengannya tak lagi hanya hal yang menggembirakan.

Ternyata selama ini ia merindukan saya berbagi tak hanya suka tapi juga duka. Ia pun merindukan memeluk saya, mengelus rambut dan menggenggam tangan saya sambil membisikan kalimat-kalimat pembangkit semangat serta menenangkan hati saya dikala lara itu menerpa. Sekalipun kerinduan itu belum terpenuhi, mendengar saya mau berbagi duka dengannya, sudah menjadi kebahagiaan tersendiri baginya. Tentu ia berbahagia bukan karena keadaan yang yang saya hadapi, melainkan bahagia saat merasa menjadi seorang ibu yang bisa hadir untuk buah hatinya dalam segala kondisi.

Mendengar tuturannya, saya pun tak kuasa menahan rasa… aliran bening dua bola mata saya menyadarkan diri ternyata seperti itu bahasa cinta ibunda. Suatu hal yang luput dari pikiran saya, bahwa ternyata ia merindu anaknya berbagi duka tak hanya suka. Benar-benar suatu hal yang sulit saya pahami namun hal ini sungguh berarti. Saya pun mencoba merefleksikannya pada diri, membayangkan ketika anak-anak saya beranjak dewasa dan menemukan tantangan dalam kehidupan mereka, ternyata saya pun berharap mereka mau berbagi dengan saya apa pun yang mereka hadapi.

Terimakasih ya Allah atas apa yang telah terjadi kemarin, kini saya mencoba melihat dan memahami makna membahagiakan dari sisi yang lain.

Berlin, 10 Mei 2009

Berbagi di eramuslim

Tinggalkan Balasan