“Maluu…,Bunda!”

Sejak menyimak penuturan seorang sahabat yang menceritakan diskusi antara dirinya dan beberapa sahabat yang lain tentang film anak-anak, saya jadi melihat ulang film anak-anak yang sering dilihat anak saya. Saya berusaha lebih jeli melihat dari berbagai aspek kemudian menyortir yang tidak terseleksi dari kriteria yang saya tetapkan dan mulai mencari-cari film anak lainnya yang „sehat dan mendidik“ untuk anak-anak saya yang masih balita. Di samping itu, saya selalu usahakan mendampingi mereka saat menonton dan mencoba dengan bahasa sederhana memasukkan norma-norma agama dari tiap-tiap adegan film kepada mereka.

Suatu hari ketika saya sedang rebahan karena kondisi fisik yang tak sehat, hati saya tak sepenuhnya hadir menemani anak-anak bermain. Saya biarkan mereka bermain dengan mainan kesukaannya masing-masing. Tiba-tiba si sulung bersuara, “Bunda, aku ingin nonton film“. Kelihatannya dia sudah bosan bermain dengan mainannya.

Saya anggukan kepala, memberikannya izin. Secepat kilat si sulung menyalakan monitor dan ia mulai sibuk mencari menu favoritnya.

“Nonton filmnya yang bagus ya Nak!” ujar saya mengingatkan ia akan perjanjian yang sudah saya sepakati dengannya.

Ia mengangguk, tak lama sebuah film anak dengan tokoh bernama Tchoupi menjadi pilihannya (sepertinya kalau dilihat dari bahasa dan tulisannya film ini berasal dari Perancis). Tchoupi lazimnya film anak-anak lainnya seperti Mickey Mouse adalah seekor binatang tapi digambarkan perilakunya seperti manusia. Dalam episode tersebut diceritakan apa saja yang dilakukan Tchoupi selama dititipkan ibunya di sebuah playgroup.

Setelah beberapa waktu, kelihatannya si sulung mulai bosan. Ia melirik saya, seketika saya mengerti maksudnya lalu saya katakan padanya, “kalau Abang sudah bosan, boleh tuh klik yang ada gambar layang-layangnya.”

Saya mencoba memberikan sebuah saran film mana yang baik ia lihat. Masih serial Tchoupi, namun kali ini adegannya si Tchoupi bersama teman-temannya sedang bermain di pantai. Salah seorang temannya sedang bermain layang-layang, sementara Tchoupi dan teman yang lain berenang sambil menyelam sesekali mengejar ikan dan gurita. Saya pikir film ini cukup baik untuk ditonton oleh si sulung dan adiknya, sekalian saya bisa menjelaskan tentang layang-layang juga mahluk-mahluk ciptaan Allah yang ada di air. Tetapi apa reaksi si sulung saat saya menyarankan film tersebut?

Nein, Bunda… aku enggak mau lihat yang itu, … aku maluu”, ujarnya sedikit merengek. Saya tertegun mendengar kata-katanya.

“Apa yang membuat Abang malu?“ tanya saya.

“Tchoupi enggak pakai baju”, jawabnya polos.

Saya tersenyum mendengar alasannya. Satu hal yang tak terlintas sedikitpun dalam pikiran saya kenapa si sulung merasa malu. Saat itu karena adegannya di pantai dan sedang bermain air, tentu saja Tchoupi tak memakai baju, ia hanya mengenakan celana selutut. Akhirnya kami mencari serial Tchoupi lainnya yang nyaman dilihat oleh ia dan adiknya.

Sambil menemani mereka, pikiran saya teringat akan sesuatu hal. Segera saya beranjak mengambil sebuah dokumen tentang tumbuh kembang si sulung, di dalamnya terdapat beberapa foto yang diberikan gurunya saat ia pindah ke tempat playgroup lainnya. Saya melihat-lihat kembali foto-foto itu. Hampir semua foto yang ada memperlihatkan betapa cerianya ia bermain bersama teman-temannya. Hanya dua foto yang mengekspresikan sorot sedih di raut mukanya.

Foto yang pertama, saat ia hanya menggunakan diappers dengan tangan dan muka coreng-moreng penuh dengan warna-warni cat. Sepertinya saat itu sedang berlangsung kegiatan melukis dan anak-anak tanpa sehelai kain pun selain diappersnya, dibiarkan leluasa menuangkan cat-cat itu di kertas yang disediakan atau di mana saja sesuka hati anak-anak termasuk mengoleskannya di bagian tubuh mereka. Foto yang kedua, si sulung seperti pada foto pertama hanya menggunakan diappers, sedang jongkok memeluk kedua lututnya di pinggiran sebuah kolam air buatan yang disediakan untuk anak-anak bermain air.

Saya bisa memahami kenapa si sulung dalam kedua potret tersebut begitu sedih, kontras dengan ekspresi anak-anak yang lain. Sejak umur setahun setengah ia selalu menolak kalau saya hendak memakaikan padanya celana pendek atau selutut. Ia selalu berteriak “malu Bunda…malu.” Ia lalu memilih sendiri baju dan celana yang serba panjang. Walhasil sampai sekarang saya tak pernah berhasil membujuknya untuk menggunakan celana selutut saat musim panas, tetapi untuk baju ia sudah mau saya bujuk menggunakan lengan sesiku. Selama ini saya hanya bisa memberikan pengertian tanpa keinginan memaksakan kehendak padanya. Biarlah, tiap anak memiliki keunikan masing-masing, pikir saya.

Seringkali saat kami jalan-jalan si sulung tiba-tiba berteriak, “Bunda… jangan dilihat, … maluu… nggak baik!“, serunya sambil memalingkan muka saat melewati iklan-iklan musim panas yang dipajang di berbagai tempat. Sambil tersenyum karena tingkahnya itu, saya mengiyakan peringatannya.

Beberapa hari lalu saat saya melihat suami saya sedang senggang, terbersit keinginan untuk mendiskusikan tentang film anak-anak dengannya. Saat itu si sulung dan adiknya sedang menonton sambil ikut menyanyikan huruf-huruf latin di layar monitor yang dinyanyikan dengan berbagai versi. Ketika kami mulai terlibat diskusi, tiba-tiba si sulung berteriak, “Bunda… ada film baguus!”

Saya bergegas ke kamar anak-anak, lalu ikut duduk di antara mereka dengan pandangan tertuju pada film yang baru saja berhasil ia temukan dari internet. Ternyata sebuah film animasi dengan tokoh anak kecil berbaju biru dan bermimik lucu. Film tersebut memperlihatkan adegan si anak yang berusaha mencari air untuk menyiram bunga tetapi saat berhasil menemukan air, si anak tak sampai hati melihat teman-temannya yang di temuinya sepanjang jalan menuju bunga peliharaannya sedang kehausan, kemudian air itu dibagikan pada teman-temannya. Anak tersebut bernama Pocoyo, dari bahasa dan tulisan yang digunakan saya menduga film tersebut berasal dari Amerika Latin.

Saya turut senang dengan temuan si sulung itu, karena bagi saya berarti bertambah lagi sebuah khazanah film anak yang bisa menjadi media bagi saya untuk menanamkan ahlak mulia pada mereka. Sejak saat itu anak-anak saya keranjingan menonton serial Pocoyo dan saya pun tambah bersemangat menyisipkan norma-norma agama di setiap adegan film tersebut.

Suatu malam saat menemani anak-anak beranjak tidur, saya tanyakan pada si sulung kenapa ia menyukai Pocoyo. Setelah berpikir sejenak, ia menjawab pertanyaaan saya.

“Pocoyo baik, … suka nolong, … sayang sama teman-teman”, ujarnya.

“Berarti Pocoyo anak yang sholeh ya?” tanya saya memancing pendapatnya. Ia hanya menjawab dengan anggukan.

“Emmm…” kelihatannya ia masih ingin meneruskan jawabannya.

“Kenapa Bang?” tanya saya tak sabar.

Ia tersenyum malu-malu, “Pocoyo juga cakep kaya’ Abang, pake baju dan celana panjang.”

Mendengar jawabannya kali ini saya tertawa sambil mengacak-acak rambutnya. Ia juga ikut tertawa. Lalu saya kecup pipi tembemnya dan membisikan padanya, “Alhamdulillah, abang anak sholeh yang cakep.”

“Bunda juga cantik, pakai jilbab dan baju panjang”, balasnya.

Begitu menyenangkan saat mencoba menyelami jiwa anak-anak. Selalu mengalir perasaan takjub di relung-relung hati saya. Ketakjuban pada Sang Maha Pencipta yang melindungi jiwa-jiwa yang masih fitri itu dengan caraNya tersendiri. Tak pernah terlintas dalam pikiran saya sebelumnya, ternyata anak-anak bisa membedakan mana yang baik dan tidak termasuk dalam hal berpakaian untuk menutupi aurat. Subhanallah!

berbagi di eramuslim

Tinggalkan Balasan